Mohon tunggu...
Dani Iskandar
Dani Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pungli? Hush... Sstt...

21 Oktober 2016   09:17 Diperbarui: 22 Oktober 2016   13:23 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara PUNGLI di negeri ini mah ibarat ngomongin Kentut haha kok bisa. Iya, kentut itu cukup dihirup, dicium, dinikmati aromanya. Orang sudah capek-capek mengolahnya, melepasnya, Anda tinggal cium cium saja kok protes, kok nuduh, kok rame, ya kira-kira begitu lah pungli. Pungutan liar ini diolah sedemikian rupa, dikasi judul macem-macem, diberi bahasa halus, dikasi sebutan keren, yang ujung-ujungnya tetap saja Anda keluar biaya diluar ketentuan berlaku atau dibuat seolah-olah memang harus ada biaya, pengeluaran tersebut. Namanya juga liar. Anda mau teriak, Anda mau protes, bisa-bisa Anda yang dikondisikan Salah, Ya SALAH, seolah-olah kita-kita harus mahfum, legowo, nerimo, dengan keadaan, kondisi Pungli tersebut. Orang-orang tak berani protes, bahkan meng"iya"kan praktik ilegal tersebut. Ya wajar lah, kan mereka capek, alah cuma segitu juga, berapa sih 10.000, itung-itung tanda terima kasih, dan sebagainya, dan seterusnya.

Ya, begitulah negeri ini. 70 tahun merdeka, mental mengemis, mental feodal, makan teman, "ngolah" kerabat, "ngerjain" orang lain tak habis-habisnya hilang dari masyarakat kita. Apalah sebutannya, mental seperti ini memang sudah terbentuk sejak kanak-kanak. Prilaku ini memang mendarah daging, sejak kecil ada saja anak-anak yang pintar mengolah temannya sendiri. Dan kita permisif. Dibeliin gundu, kelereng 10 buah, nanti 1-2 buah buat anak yang beliin. Beranjak remaja, begitu juga, mengajak teman-temannya camping, jalan-jalan, begitu urunan, trus yang punya ide, yang mengajak gratis. Hal-hal seperti ini kebanyakan kita menganggapnya wajar, biasa. Padahal ini lah bibit-bibit korupsi yang sekarang mewabah di negeri ini. Pungli kan Korupsi. Kita tidak usah teriak-teriak korupsi, anggota DPR koruptor, pejabat korup dan sebagainya. Padahal dalam diri kita sendiri memang ada bibit-bibit itu. Kembali ke diri masing-masing. Kita yang kendalikan kontrolnya. Wajar tidak kita melakukan hal tersebut. Tersinggung tidak orang lain. Sakit hati tidak mereka. Dirugikan gak pihak lain. Melanggar hukum tidak kegiatan kita itu.

Jika jawaban pertanyaan tersebut tidak, tidak dan tidak. Aah cuma dikit kok, gak seberapa juga, nilainya kecil kok, orang juga ikhlas, mereka juga gak protes kok, maka praktik Pungli tidak akan bisa diberangus hilang dari negeri ini. Coba dicek berapa indeks korupsi negara ini dibanding Negara-negara lain di Dunia? Hampir setiap hari kita baca berita korupsi, pungli, tangkap tangan sogokan, dari pagi hingga pagi lagi. Tapi praktik korupsi masih saja berlangsung.

Praktik Pungli

Pungli sudah merasuk di segala sendi kehidupan bangsa ini. Di sekolah, ada saja istilah uang buku, uang les, uang ini uang itu. Masuk ke rumah sakit kita ditodong dengan uang muka, BPJS seperti momok yang dihindari pihak rumah sakit. Pasien sudah meraung-raung kesakitan dibiarkan saja di selasar tanpa sedikit pun diperhatikan jika tidak ada uang jaminan. Begitu meninggal, ketemu lagi kita dengan jawara penggali kubur dan penguasa rumah masa depan ini. Ada fulus Anda dikubur, banyak fulus, lokasi makam strategis.

Sebelumnya praktik-praktik pungli pun kerab kali kita temui pada pedagang-pedagang. Dulu sebelum ramai disuarakan pasti Anda sering gondok, menemukan harga-harga aneh di swalayan-swalayan, supermarket-supermarket. Harga kok Rp 23.850, begitu Anda bayar dengan uang Rp 25.000, kembaliannya seribu perak dan sebuah permen atau tawaran, yang Rp 150 boleh kami sumbangkan Pak, Bu. Apa ini bukan Pungli?? Dulu zamannya telepon Telkom sebagian masyarakat pasti sering mendapati tagihan teleponnya membengkak, begitu dicetak tagihan ternyata ada layanan japati, apa ini? saya rumah tangga biasa, saya tidak pernah berlangganan ini, sama halnya saat musim ringtone berlangganan, seringkali pelanggan terpotong pulsanya gara-gara ringtone yang otomatis terpasang seolah-olah pelanggan tersebut telah berlangganan, begitu juga ketika menabung di bank, begitu dicetak buku tabungan, baru kelihatan biaya ini itu yang dibebankan ke nasabah, meskipun nilainya kecil tapi pemotongan ini tidak pernah diberitahukan kepada nasabah sebelumnya, trik-trik seperti ini apa bukan pungli ?

Tidak usah kita bicara praktik-praktik pungli yang kasat mata di tempat-tempat pelayanan umum seperti Samsat, Kelurahan, Kecamatan, Jembatan Timbang dan sebagainya. Tempat-tempat yang kami contohkan di atas pun tak lepas dari pungli, belum lagi tempat penitipan sepatu di masjid, wc umum, parkir liar, troli bandara, kutipan masuk terminal, calo antrian, joki 3 in 1, uang raskin, uang bandes, bahkan mau masuk kerja saja banyak yang harus bayar kepada satpam, HRD, belum lagi kalau ada perlombaan olah raga, kesenian, tim official selalu lebih banyak dari atlit dan tim kesenian yang dibawanya, tim official selalu memasukkan sanak keluarga dalam perjalanan kegiatan tersebut. Begitu banyaknya praktik pungli yang terjadi sehingga jika kita tuliskan mungkin tidak cukup dalam 1 buku.

Begitulah mengapa harga-harga barang begitu mahalnya di negeri ini, karena terlalu banyak pungli. Sopir-sopir truk menghabiskan banyak uang untuk memberi uang di TPR-TPR dan petugas-petugas DLLAJ dan Polisi di jalan raya dan jembatan timbang. Bahkan untuk menyeberang menggunakan kapal feri pun ada praktik pelicin agar bisa menyeberang duluan. Belum lagi biaya inap, bongkar muat di terminal peti kemas yang saat ini tengah disoroti. Dwelling time yang lama menyebabkan pengusaha harus membayar mahal biaya menginapnya. Ujung-ujungnya masyarakat juga yang dibebankan biaya tersebut. Tidak ada makan siang gratis. Pengusaha dipungli, ya masyarakat juga kena getahnya.

Berantas Pungli

Itikad baik Presiden memanggil para Gubernur se-Indonesia untuk sama-sama memberantas prakti pungli merupakan sebuah contoh baik. Kalau selama ini kita kehilangan figur pemimpin yang menjadi contoh baik di masyarakat, mudah-mudahan ini merupakan trigger bagi pemimpin-pemimpin daerah untuk berdiri bersama Presiden, menjadi perwakilan di daerahnya masing-masing untuk sama-sama memberantas pungli. Kita jangan lagi terbiasa hidup dengan pungli. Pungli bukan sebuah kebiasaan. Pungli adalah Korupsi. Pungli adalah Kejahatan. Yuk berantas Pungli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun