Jaler ...
Tidak menyayangiku.
Apalagi menginginkanku.
Hanya bermaksud menebus perawanku,
dengan jaminan tunjangan seumur hidup.
Cukup.
Yang penting bisa disuruh-suruh.
Tapi aku tidak bisa harus seperti itu.
Meskipun nyatanya aku harus.
Sudah ada sumpal uang tutup mulut.
Tapi aku tidak bisa harus seperti itu ...
Diberi ...
Tapi ngeri ...
Lebih baik menabung.
Yang tekun.
Airmata dan luka.
Kutumpuk yang banyak, yang rapih.
Balas budi.
Memberi.
Kutumpuk yang banyak, yang rapih.
Sehingga tidak terhitung.
Malas menghitung.
Tidak terasa.
Wah sudah banyak ...!
Maka aku dirikan rumah dari buah dada,
dengan puting-puting merah muda menghias indah
Dengan pintu-pintu yang liat seperti liang birahi,
seperti milik gadis-gadis gincu merah kecintaannya.
Untuknya, Jaler ...
Membuatnya birahi setiap saat.
Menyeringai nakal,
setiap kali melewati pintu,
setiap kali memandangi sekat sekeliling.
Membuatnya yakin dia terlalu perkasa,
hingga lengah ...
Kuringkus dalam perangkap lalu kukebiri.
Jambangnya tercukur merintis pada pipinya.
Dadanya bidang ketat dengan ototnya.
Dia laki-laki
Dia yakin dia laki-laki, sebelum dia birahi pada pintu-pintu rumahnya sendiri lalu melucuti celananya.
Nafsunya hanya jadi umpat di mulutnya.
Dia laki-laki, ketika berbusana
Tapi bagiku dia bukan lagi.
Apalagi bagi gadis-gadis gincu merah yang selalu haus.
Jalangpun mungkin membatin, walau disuapnya untuk bercinta.
Jaler, Jaler ...
Lelah mengumpat nafsu lewat mulutnya
Bisa dengan apa lagi memangnya?
Wajahnya merah dan ototnya keluar menghias lehernya
Tidak tersampaikan.
Mengerang.
Suaranya seperti beruang jantan
Tapi dia bukan beruang.
Juga tidak mau dikata betina
Meskipun dia tahu, dia bukan jantan!