“Mau kuliah jurusan apa?”. Dengan beberapa opsi, kurang lebih begitulah yang orang-orang ungkapkan 2 tahun yang lalu. Jujur, ketika opsi yang mereka berikan hanya berupa jurusan-jurusan ilmu eksak, saya merasa sedih. Hal ini tak lain karena selama menempuh studi IPA di SMA, saya merasa tak pernah menemukan diri saya yang sebenarnya dengan dominasi pelajaran-pelajaran eksak yang saya terima. Sekolah hanya terasa formalitas saja kala itu. Tak ada keinginan untuk mencapai prestasi tertentu.
Memang, pada saat itu arus studi saya hanya berorientasi pada istilah “go with the flow” saja. Teman memilih IPA, ya sudah diikuti saja tanpa ada pemikiran mengenai apa yang sebenarnya saya inginkan. Konsekuensi memilih jurusan IPA pun tak terbesit sama sekali. Untuk belajar saja rasanya butuh usaha yang sangat ekstra. Satu hal yang saya pahami betul-betul adalah kecintaan saya terhadap Bahasa Inggris dan bagaimana saya mengaplikasikannya pada interaksi-interaksi yang saya lakukan dengan orang luar negeri baik virtual mau pun realita.
Pada masa-masa akan berakhirnya studi saya di SMA, saya diberikan kesempatan untuk mengikuti sebuah lomba debat bahasa inggris. Dengan topik-topik bertemakan permasalahan sosial yang disediakan, akhirnya saya menemukan hal lain yang menarik perhatian saya. Tak hanya itu, sebuah buku mengenai interaksi antar negara dan kejahatan transnasional (transnational crimes) yang tanpa sengaja saya temukan di sebuah toko buku pun turut membimbing saya yang pada akhirnya tidak berorientasi “go with the flow” lagi, melainkan “go against the flow” dengan memutuskan untuk memilih jurusan Hubungan Internasional di tingkat perguruan tinggi.
Sulit, lelah, dan perasaan-perasaan emosional lain turut mengiringi perjalanan saya untuk bisa sekolah di Universitas yang akan menjadi jembatan dalam menggapai impian-impian saya. Hal yang sangat saya syukuri kala itu ialah dukungan-dukungan dari keluarga saya yang sangat luar biasa. Meski pun mereka memiliki pilihan ideal mereka sendiri untuk saya mengenai jurusan di perguruan tinggi, namun mereka lebih menghargai dan mempercayakan pilihan saya. Kepercayaan mereka itulah yang sampai saat ini saya jadikan sumber motivasi untuk terus berkembang.
Setelah saya menemukan jembatan impian tersebut, ternyata saya mendapat tantangan baru. Pada akhirnya saya memahami apa yang McClelland sebut sebagai Need of Achievment atau kebutuhan akan pencapaian. Lantas mengapa hal tersebut saya jadikan sebagai tantangan?. Sebagai orang yang baru memahami keinginan akan pencapaian, saya menemukan berbagai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Selama ini, saya hidup dalam zona nyaman yang menutup segala kesempatan yang seharusnya saya ambil. Diam di tempat dan tak mengeluarkan ide adalah singgasana dari zona nyaman saya.
Namun, saya sedikit demi sedikit dapat mengatasinya dengan motivasi dari kepercayaan dari keluarga. Selain itu, pada suatu kesempatan sebagai interviewer di salah satu UKM di kampus, saya mendapat motivasi lain mengenai betapa berharganya menempuh studi di jurusan yang diinginkan. Mahasiswa yang saya wawancarai pada saat itu mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak ingin kuliah di jurusan yang saat ini dia tempuh. Kemudian dia menyebutkan jurusan impiannya dan menceritakan bagaimana masalah finansial menjadi hambatannya untuk kuliah di jurusan tersebut.
Hal tersebut sangat menyentuh hati saya. Saya yakin bahwa di luar sana banyak orang yang ingin memiliki hak dan kewajiban sebagai mahasiswa di jurusan yang saya tempuh sekarang ini. Namun dengan berbagai hambatan, mereka tidak bisa mewujudkannya. Oleh karena itu, saya semakin bersyukur untuk dapat menempuh studi yang diinginkan. Dan hal inilah yang terus saya jadikan motivasi untuk terus berupaya mengambil segala kesempatan dan menjadi representasi mereka yang tak bisa menempuh studi yang saya tempuh saat ini dengan belajar sungguh-sungguh.
Jika melihat kembali ke belakang, saya bersyukur untuk berada pada posisi saya saat ini. Begitu banyak perkembangan yang terjadi pada saya, walau tentunya masih banyak kekurangan yang harus saya benahi. Karena sejatinya, perkembangan diri menurut saya akan hadir ketika diri sudah memformulasikan dan menemukan visi yang diimplementasikan dalam misi yang dikonstruksi. Abraham Lincoln pun pernah berkata bahwa “The best way to predict the future is to create it.”. So, find and always develop yourself to achieve your goals in life!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H