Pajak merupakan salah satu instrumen paling penting dalam menjaga stabilitas ekonomi suatu negara. Dalam konteks ini, pajak berfungsi sebagai sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai pengeluaran publik, serta mengatur distribusi pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat. Oleh karena itu pajak memainkan peran sentral dalam menjaga stabilitas ekonomi. Di Indonesia sendiri, pajak menjadi penyumbang paling besar terhadap pendapatan negara. Dikutip dari sippn.menpan.go.id, dari berbagai sumber penerimaan negara, penerimaan perpajakan memiliki porsi terbesar, yaitu lebih dari 80% penerimaan APBN. Hal ini menunjukkan bahwa pengumpulan penerimaan negara memberikan prioritas yang paling tinggi pada penerimaan pajak.
Melihat besarnya penerimaan negara dari pajak, maka penting menerapkan sistem pengelolaan pajak yang akuntabel, transparan dan bebas dari penyelewengan sehingga dapat menyongsong stabilitas ekonomi yang lebih kokoh. Peningkatan akuntabilitas pajak juga diperlukan untuk menghindari tindakan praktik pidana perpajakan yang semakin mengakar di Indonesia. Sebab hingga saat ini tidak sedikit para pegawai bahkan pejabat pajak yang terjerat kasus pidana perpajakan sehingga menimbulkan banyak kerugian terhadap negara.
Dilansir dari katadata.co.id, penjelasan mengenai tindak pidana perpajakan sendiri terdapat dalam UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lebih tepatnya, pada bagian penjelasan Pasal 33 ayat (3). Penjelasan atas Pasal 33 ayat (3) UU Penanaman Modal, berbunyi "Yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan".
Berdasarkan informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dikutip dari dataindonesia.id, selama semester I/2022 tercatat 3.680 dugaan tindak pidana perpajakan. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 100,65% dibandingkan dengan jumlah kasus pada semester I/2021 yang mencapai 1.834 kasus. Selain itu, dugaan tindak pidana perpajakan pada paruh pertama tahun ini juga mengalami kenaikan sebesar 31,10% dibandingkan dengan semester II/2021 yang sebanyak 2.807 kasus. Dugaan tindak pidana perpajakan juga memberikan andil yang cukup besar terhadap total indikasi tindak pidana dalam laporan keuangan transaksi mencurigakan selama periode Januari-Juni 2022.
Maraknya tindak pidana perpajakan ini tentunya dapat memberikan dampak yang negatif terhadap penerimaan pajak. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa tindakan tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat dalam membayar pajak. Masyarakat akan curiga terhadap penggunaan dan tujuan dari pajak yang telah mereka bayarkan, yang pada akhirnya menyebabkan keraguan bagi mereka untuk membayar pajak. Berdasarkan data yang dikutip dari cnbcindonesia.com, realisasi kepatuhan wajib pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di tahun 2022 mencapai 83,2%. Hal ini berarti hingga tahun 2022, realisasi kepatuhan wajib pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) masih dibawah 90%. Tentunya dengan adanya transparansi dan akuntabilitas pajak ini diharapkan dapat menurunkan tindak pidana perpajakan serta angka kepatuhan pajak pun akan semakin meningkat.
Adapun bentuk transparansi dan akuntabilitas yang dapat dilakukan pemerintah terhadap pengelolaan pajak adalah dengan menciptakan sistem pajak yang tertata dengan baik, dimana didalamnya terdapat keterbukaan dan transparansi, pengawasan dan audit, penegakan hukum yang tegas dan jelas, serta harus adanya partisipasi dan keterlibatan masyarakat. Penting untuk menyediakan informasi yang jelas dan transparan kepada masyarakat tentang penggunaan dana pajak, kebijakan perpajakan, prosedur pengumpulan pajak, dan hasil yang dicapai melalui penerimaan pajak. Laporan keuangan dan informasi terkait juga harus tersedia untuk publik. Di era disrupsi teknologi informasi saat ini, ketersediaan informasi publik dalam upaya transparansi pemerintah dapat dilakukan dengan mudah, banyaknya masyarakat Indonesia yang kini semakin melek terhadap teknologi infromasi tidak dapat dijadikan sebuah alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak transparan dalam hal pengalokasian dan pendistribusian pajak.
Diperlukan pula pengawasan yang ketat terhadap proses pengumpulan, pemeriksaan, dan penagihan pajak. Audit secara berkala dan independen harus dilakukan untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan dan mendeteksi potensi penyelewengan atau kecurangan. Peraturan perpajakan juga harus jelas, stabil, serta dapat diprediksi, sehingga wajib pajak dapat merencanakan keuangan mereka dengan baik dan menghindari ketidakpastian atau kebingungan yang dapat mengganggu kepatuhan pajak. Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan perpajakan juga dianggap penting sebab dapat meningkatkan kepercayaan dan rasa memiliki terhadap sistem perpajakan. Partisipasi aktif masyarakat juga dapat membantu dalam pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan perpajakan.
Dengan sistem pajak yang tertata dengan baik maka akuntabilitas pajak dapat terus terdorong dalam menciptakan stabilitas ekonomi yang kokoh. Diharapkan pula dengan adanya sistem perpajakan yang transparan dan akuntabel ini dapat mendorong peningkatan penerimaan negara dari pajak, sehingga dapat dilakukan berbagai pembangunan dan pemerataan ekonomi bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H