Angkara Penjajah
Penulis mencoba mencari dan menggali akar masalahnya dari berbagai sudut pandang, semisal; dari aspek sejarah, penjajahan, sosio-budaya, pendidikan, ekonomi, politik serta lainnya.
Ditemukan bahwa yang membuat sikap masyarakat Melayu hari ini (termasuk sikap para pemimpin) yang menjadi acuh tak acuh atau tidak peduli terhadap prihal isu jati diri ini, rupanya berawal dari sikap pihak penjajah sendiri yang ternyata tidak rela negara-negara bekas jajahan mereka lepas dan bebas begitu saja. Untuk itu, sebelum bangsa Melayu merdeka, ternyata mereka para penjajah ini terlebih dahulu telah mempersiapkan kajian dan langkah-langkah tertentu agar penjajahan itu tetap lestari dalam bentuk lain.
Bangsa penjajah sangat memahami bahawa penjajahan fisik tidak mungkin lagi untuk dilakukan, oleh karena itu sebagai penggantinya, menjajah pemikiran bangsa Melayu ini sebagai kelanjutannya adalah cara terbaik. Menguasai pemikiran merupakan suatu langkah cerdas, ia akan berdampak jangka panjang sebagai proses pembodohan terhadap bangsa yang masih lugu, kurang pengalaman dan mudah dihasut dan diadu domba. Program itu dapat disejalankan dengan proses pemiskinan. Ketika kebodohan dan kemiskinan sudah terjadi, maka segalanya akan mudah untuk diatur, karena ketergantungan bisa diciptakan sebagai pintu masuk ke penjajahan model baru.
Pembodohan itu bisa dilakukan, kerana dari kumpulan hasil-hasil kajian para orientalis Barat dulu, para penjajah sudah mengetahui sifat-sifat dasar bangsa pribumi Melayu yang baik, lugu, lemah lembut, ramah, mudah percaya, dan sudah barang tentu juga mudah untuk ditipu. Dengan demikian penjajahan model baru (neo-kolonialisme) itu bisa berjalan dengan baik dan lancar. Para penjajah tidak perlu lagi menggunakan bedil dan senapang atau dengan menghardik dan menampar pribumi seperti dulu.
Hari ini mereka datang dengan penuh senyum persahabatan, tapi secara halus dan bertahap mempengaruhi sistem kenegaraan yang akhirnya berdampak ke hampir seluruh lini kehidupan. Adu domba melibatkan berbagai kalangan dan kelompok berjalan dengan sangat halus dan licik, meninggalkan Melayu dalam keadaan bingung dan tercari-cari. Sementara itu pihak-pihak tertentu lainnya yang juga bernafsu untuk menjajah Melayu memainkan cara-cara yang sama, mereka menangguk di air keruh.
Penjajahan Pemikiran (Neo-Kolonialisme)
Ilmu dalam kajian Islam seharusnya dibagi tiga, yakni; hablum-minannas (ilmu tentang hubungan dengan manusia), hablum-minal’lamin (hubungan dengan alam), keduanya merupakan bahagian yang tak terpisahkan dengan hablum-minallah (hubungan dengan Sang Pencipta, Allah Swt).
Namun Barat sudah lebih dahulu menguasai dua ilmu pertama, yakni; hablum-minannas  (social science), hablum-minal a'lamin  (information technology). Tetapi mereka agak lemah dalam hablum-minallah, bahkan ada yang sama sekali tak percaya kepada agama.
Kembali ke soal Melayu, banyak kaum pribumi ini yang tidak tau bahawa hal-hal terkait sosio-budaya (hablum-minannas) ini, begitu juga soal bahasa yang sangat erat kaitannya dengan pemikiran manusia. Namun demikian, pihak Barat atau penjajah sudah lebih dulu menguasainya, bahkan jauh sebelum negeri-negeri Melayu ini memperoleh kemerdekaan. Contohnya, Binnet (1907) seorang cendikiawan Perancis yang telah menulis tentang The Mind and The Brain (pemikiran dan otak), lalu di Amerika ada Chomsky (1968) yang menulis tentang Language and Mind (bahasa dan pemikiran), keduanya berhubungan dengan pemikiran.
Sepertinya dari kajian-kajian tentang pemikiran inilah awal mula pergerakan neo-kolonialisme itu, yang kini telah berhasil menjajah kembali bangsa ini dan menguasai pemikiran sebahagian besar orang Melayu. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada negeri-negeri bekas jajahan Barat lainnya, terutama di negara-negara Afrika, bahkan disana lebih parah lagi.