Kemarin ketika langkah ini akan menuju ke rumah. Tubuhku mulai gemetar dan tulang-tulang ini merasa gontai. Dari depan Rumah Sakit itu aku terus mendekat tapi mengapa adik dan kakak itu tidak berpegangan tangan. Lalu senja mendadak pucat pasi, senja ikut terkejut seakan ia tak dapat mengeluarkan energi terakhirnya untuk menemani debu mentari yang ingin ikut terlelap malam ini. senja tak dapat lagi berkata-kata, aku pun begitu. Adik dan kakak itu sering ku lihat di depan Rumah Sakit tempatku bekerja. Mereka yang setiap pagi ku lihat sangat menawan dan santainya mengumbar senyum pada kupu-kupu manja serta memegang erat udara kesejukan persaudaraan mereka.
Ternyata senja itu menarik suasana dari tangisan sang kakak. Di samping kiri mereka ada roda empat yang kian menancapkan gasnya, hingga adik dan kakak itu menghirup asap dari aksi tuan roda empat yang biadab itu. Suara ambulance yang menambah kelam semakin nyata, aroma darah semakin kental dan menusuk ke jiwa-jiwa saksi mata termasuk sang kakak.
"Kakak menyesal dek, melepas tanganmu seharusnya kakak tidak melepas langkah darimu."
akhirnya sepatu baru untuk adik hanya bisa dirasakan kenyamanannya hanya dalam lima jam saja. Sang kakak, oh sang kakak. Adik hanya bisa menitipkan kalimat sederhana.
"Ambillah kak sepatumu, maaf adik tidak izin kepada kakak untuk meminjamnya sekolah hari ini."
Ya, yang ku lihat itu nyata adik dan kakak saling berpegangan tangan seerat-eratnya setelah adik dihantam jauh oleh roda empat berasap itu. kini kain putih adik pun telah lengkap untuk dipakainya di hari raya nanti. Tinggal lah sang kakak yang tidak mempunyai apa-apa di hari Raya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H