Mohon tunggu...
Max Sudirno Kaghoo
Max Sudirno Kaghoo Mohon Tunggu... profesional -

Staf Pengajar dan Pengelola Jurnal Socius di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Merdeka Manado sejak tahun 2005.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mateling

17 Januari 2012   11:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:46 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13268014602144065277

Kepribadian taumata (manusia) setelah melewati bentuk watak mateleng dan watak matelang pada akhirnya mencapai bentuk yang sempurna yaitu watak mateling. Sifat diam (mengendalikan lidah), rajin bekerja dan setia mendengar merupakan komponen-komponen perilaku yang membentuk kepekaan pada watak mateleng, entah itu kepekaan pribadi maupun kepekaan lingkungan (alam dan sosial). Dengan demikian taumata disebut memiliki watak mateleng apabila di dalam dirinya terdapat sifat diam, rajin dan setia. Sedangkan corak watak matelang dimulai dari sifat setia yang telah mengakar pada watak mateleng, kemudian diasah melalui ujian (seleksi) alami di ajang yang lebih luas (laut-perantau) sebagai ruang terbuka untuk menguji kadar kedewasaan taumata. Mereka yang lulus ujian adalah mereka yang mendapatkan keseimbangan dari pelbagai fenomena paradoks yang mempengaruhi perilaku. Definisi keseimbangan pada tingkat matelang adalah momentum fenomena paradoks (positif dan negatif, putih dan hitam, siang dan malam, kronis dan akut saling) bertautan pada besaran muatan yang sama untuk kurun waktu tertentu dan berlangsung pada ruang tertentu. Mateleng merupakan integrasi dari sifat diam, rajin dan patuh. Dengan kata lain: sifat patuh adalah hasil penjumlahan dari sifat diam dan rajin (tekun) yang dapat diformulasikan sebagai berikut: Setia = Tekun + Diam. Jadi, pada tingkat pertama, kunci dari kesetiaan adalah diam dalam ketekunan. Pada tingkat kedua, matelang merupakan integrasi dari sifat setia, kuat (matang) dan seimbang (stabil), sehingga formulasinya adalah: Stabil = Kuat + Rajin (makna kerja) atau Matang + Tekun (makna sifat). Taumata dalam tindakan akan nampak dari kualitas fisik yakni perpaduan antara kekuatan dan kerajinan, sedangkan taumata dalam psikhis akan nampak dari kombinasi kematangan dan ketekunan. Bagi taumata Sangihe (Siau pada khususnya), karakteristik dasar taumata menjadi kuat apabila landasannya dibentuk dari watak mateleng dan matelang. Bagaimanapun kuatnya, keseimbangan pada tingkat matelang belumlah paripurna. Taumata matelang meyakini bahwa kesempurnaan itu ada, berada pada ketiadaan. Jalan masuk kesana adalah kesenyapan. Tingkat kemanusiaan taumata akan naik lagi pada tataran berikutnya yang disebut sebagai mateling. Itulah sebabnya ada tradisi mengamalre (bertapa) dalam kehidupan taumata tradisional, yang umumnya dilakukan di dalam liang-liang yang sulit dijangkau oleh orang awam. Dengan bertapa taumata lebih memperkokoh stabilitas antara mateleng dan mateling dalam dirinya. Dengan bertapa taumata memperoleh pencerahan. Taumata mateling pada akhirnya sanggup menata kualitas kematelingannya berdasarkan pada kualitas kematelengan dan kualitas kematelangannya. Mateling merupakan kata kerja pasif sekaligus kata sifat yang mengandung tiga komposisi makna integral, yaitu: seimbang, berhikmat dan diam (pasif). Dalam kondisi mateling ini, kerja sebagai aspek fisikal (aktif) dalam pengertian harafiah melemah seiring usia taumata (waktu), tetapi watak mateleng dan matelang makin menguat. Penguatan terjadi pada saat taumata dalam kondisi keseimbangan (matelang) melakukan kerja pasif. Kerja pasif itu adalah diam. Mateling dengan demikian berada di posisi puncak yang terhubung ke mateleng dan matelang. Mateling adalah pengendali mateleng dan matelang. Pada konstruksi bangunan sosial yang lebih kompleks atau yang sederhananya disebut sebagai masyarakat, maka mateling adalah sasasa; yakni sebuah regulasi yang mengatur tentang cara-cara sasalili (mateleng) dan sasahara (matelang) agar senantiasa berada dalam keadaan malunsemahe. Taumata Mateling adalah taumata yang dibentuk karakternya dari kemanunggalan mateleng dan matelang. Taumata mateling sangat mahir berperan di tiga ranah ilmu pengetahuan yang mencakup epistemilogi, ontologi dan praksis. Kepadanyalah semua orang berpaut, baik mereka yang mateleng maupun mereka yang matelang. Dengan pemahaman kental tentang makna mateling seperti yang saya uraikan ini, barangkali itulah yang menyebabkan orang Siau (Sangihe) sangat menghormati leluhur mereka. Orang tua sampai akhir hayatnya tidak akan pernah dipantijompokan, melainkan diurus sedemikian rupa oleh generasi-generasinya hingga ajal menjemputnya, bahkan kubur leluhurnya enggan jauh dari rumah dimana mereka tinggali. Jika anda berkunjung ke Siau, hampir di setiap sudut atau di samping rumah mereka anda akan menemukan kuburan. Maaf, itu kubur (mateling) bukan kerkoft (budaya asing).  Anda dituntut hormat bukan takut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun