Mohon tunggu...
Max Sudirno Kaghoo
Max Sudirno Kaghoo Mohon Tunggu... profesional -

Staf Pengajar dan Pengelola Jurnal Socius di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Merdeka Manado sejak tahun 2005.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Laku Tepu: Busana Adat Sangihe

17 Maret 2014   08:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13950063891588422736

[caption id="attachment_326877" align="aligncenter" width="400" caption="Dok Pribadi"][/caption]

Busana adat suku Sangihe disebut Laku Tepu. Bentuknya terusan panjang. Dikenakan oleh wanita maupun pria. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran panjang baju. Baju bagi pria panjangnya mencapai lutut dan telapak kaki. Baju pria dilengkapi dengan ikat kepala yang disebut paporong sebagai pelengkapnya. Sedangkan baju wanita panjangnya bisa mencapai betis, dengan penutup bagian bawahnya menggunakan kain sarung yang disebut balri sebagai pasangannya.

Laku Tepu terbuat dari dari kain kofo dengan dua bahan baku utamanya adalah serat pisang abaka (manila hennep) dan serat kulit kayu. Pada umumnya Laku Tepu berwarna terang dan mencolok seperti: merah, ungu, kuning tua, dan hijau tua. Pewarnaan dilakukan dengan cara mencelupkan kain kofo ke dalam cairan air nira untuk mendapatkan warna merah. Untuk mendapatkan warna lainnya, kain kofo dicelupkan kedalam ramuan yang terbuat dari daun-daunan atau akar-akaran tertentu yang dapat menghasilkan warna biru, hijau, kuning, atau merah darah.

Busana adat digunakan oleh masyarakat Sangihe dalam tiga ranah, yaitu: busana adat dalam lingkup pemerintahan, busana adat dalam lingkup perkawinan dan busana adat dalam lingkup ritual.

Busana Adat Dalam Lingkup Pemerintahan

Busana dalam lingkup pemerintahan disebut dengan Laku Tepu Tembonang Uwanua. Paporong yang digunakan oleh para pemimpin/bangsawan (tembonang uwanua) memiliki tiga corak warna, yaitu biru, merah dan kuning. Warna biru dan atau ungu sebagai simbol pegawai rendah, warna biru sebagai simbol pegawai menengah dan warna kuning atau putih sebagai simbol pegawai tinggi dalam pemerintahan. Terkecuali raja (bupati, gubernur, presiden) mengenakan simbol warna kuning emas.

Paporong yang digunakan oleh pegawai pemerintahan dengan status sosial yang tinggi disebut Paporong Tingkulu. Sedangkan paporong yang digunakan oleh raja (bupati, gubernur, presiden) adalah Paporong Datu Bouwawina. Hanya paporong raja yang bentuk ujung atasnya berdiri tegak serupa runcing kerucut. Sedangkan bawahan raja, ujung paporong dilipat, sebagai simbol kepatuhan dan penghormatan kepada raja.

Busana Adat Dalam Lingkup Ritual

Busana adat yang digunakan oleh pemimpin dalam lingkup ritual bercorak warna merah atau ungu. Sedangkan busana adat yang dikenakan oleh kaum wanita pada berbagai upacara ritual atau acara formal meliputi baju panjang berikut pelengkap utamanya yaitu selendang. Selendang tersebut dinamakan kaduku, yang panjangnya mencapai dua meter dengan lebar 15 sentimeter. Kaduku memiliki makna simbolis yang erat kaitannya dengan status sosial pemakainya. Perbedaan status sosial yang ada di dalamnya tampak pada cara pemakaian selendang. Seorang wanita yang berstatus sebagai permaisuri, biasanya mengenakan selendang yang terbuat dari kain kofo berwarna kuning tua dan merah.

Cara memakainya, yakni dengan menempatkan selendang sebelah menyebelah bahu. Pemakaian dengan cara seperti ini dilakukan pula oleh seorang gadis yang akan menikah, hanya saja pada bagian kepalanya diberi atau disematkan perhiasan tertentu. Berbeda halnya dengan cara memakai selendang yang dilakukan oleh para istri bangsawan, yakni hanya dengan menyampirkannya di bahu sebelah kanan.

Busana Pengantin

Busana adat pengantin pria terdiri atas celana panjang dan laku tepu yang panjangnya hingga lutut atau telapak kaki, di kanan kiri baju terdapat belahan yang tingginya mencapai pinggul, krah baju berbentuk bulat dan terbelah di bagian depannya, serta berlengan panjang. Kelengkapan busana yang dikenakan oleh pengantin pria meliputi kalung panjang atau soko u wanua, keris (sandang) yang diselipkan di pinggang sebelah kanan, ikat pinggang atau salikuku yang terbuat dari kain dengan simpul ikatan ditempatkan di sebelah kiri pinggang, dan ikat kepala berbentuk segitiga. Khusus untuk ikat kepala, bagian yang menjulangnya diletakkan di bagian depan kepala. Adapun ujungnya diikatkan di belakang kepala.

Sementara itu, busana adat pengantin wanita terdiri atas kain sarung lengkap dengan baju panjang atau laku tepu yang berlengan panjang, krah baju berbentuk bulat, dan terbelah di tengah pada bagian belakangnya. Kelengkapan buasana lainnya yang dipakai oleh mempelai wanita adalah sepatu atau sandal, sunting (topo-topo) yang dipasang tegak lurus pada konde di atas kepala, gelang, anting-anting, kalung panjang bersusun tiga yang disebut soko u wanua, serta selendang (bawandang liku).

Pemakaian salendang disampirkan di bahu kanan, melingkar ke kiri. Salah satu ujungnya dibiarkan terurai sampai ke tanah, dan ujung yang lain dipegang. Pemakai kain sarung sekarang ini dikenakan untuk menutup badan bagian bawah, kini diganti dengan rok panjang berlipit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun