Mohon tunggu...
Max Sudirno Kaghoo
Max Sudirno Kaghoo Mohon Tunggu... profesional -

Staf Pengajar dan Pengelola Jurnal Socius di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Merdeka Manado sejak tahun 2005.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bubur So Jadi Nasi

14 Januari 2012   12:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1326541252755612250

Bulan desember 2011 yang lalu adalah akhir dari aktivitas semester genap untuk anakku yang sedang studi di SMK 1 Manado. Delapan dari duabelas mata pelajarannya mendapat nilai memilukan hati ibunya. Itu akibat kurang disiplin dan terlalu sering bermain play station. Akhirnya, anak saya kini sedang memperbaiki prestasinya pada program remedial di sekolahnya. Sudah seminggu dia pulang larut dan akibatnya masuk dingin sehingga giginya sakit. Bengkak di pelipis kirinya. Ia harus sukses tahun ini agar tahun depan bisa duduk di kelas dua. Pada waktu yang sama saya juga mengalami masalah. Rambut saya salah potong. Isteriku bukan seorang tukang cukur rambut. Dia hanya seorang staf di kantor pemerintah yang hari-harinya sibuk dengan kertas (mungkin sering juga menggunting kertas). Tapi hari itu, aku minta tolong supaya dia menggunting rambutku yang sudah gondrong meresahkan. Dia sebenarnya tidak mau dan balik menyarankan untuk pergi ke tukang cukur di Calaca. Saya yang ngotot supaya dia belajar. Celakanyal, rambutku jadi pendek. Apalah daya, nasi sudah jadi bubur dan membuat diriku terpaksa "betah" di rumah selama sebulan, menunggu rambut kembali pada posisi normal. Hari ini ada pengalaman baru saat anak saya sakit giginya, sehingga tak bisa mengunyah makanan yang agak keras. Dia lebih suka bubur. Tadi pagi aku sedikit telat bangun. Anakku enggan membangunkan bapaknya lalu berinisiatif memasak buburnya sendiri. Sekitar lima tahun lalu ketika dia berusia 12 tahun, saya pernah mengajarkan padanya cara memasak nasi, tetapi tidak mengajarkannya cara memasak bubur. Seingat saya hanya teori membuat bubur saja yang pernah dijelaskan padanya, yaitu: takaran air untuk bubur lebih banyak dari takaran air untuk nasi. Setelah aku bangun tidur dan ke dapur, anakku duduk di meja makan memelas. Kedua tangannya menopang dagu di atas meja makan. Ia nampak murung dan menyesal. Aku tidak langsung bertanya karena tahu dia sedang sakit gigi. Begitu aku hendak memeriksa air panas untuk membuat secangkir kopi, kulihat belanga di atas konfor sudah berisi nasi tetapi dalam keadaan terbuka. Aku bertanya, kenapa nasi tak ditutup? Jawab anakku: itulah yg bikin aku menyesal,"bubur sudah jadi nasi", katanya. Untuk maksud menghiburnya, akupun mendekati dia dengan secangkir kopi dan duduk di sampingnya sambil menikmati kue sisa perayaan tahun baru. Seraya menghibur dia, kataku: "sudahlah deh, nda ada guna menyesal, nasi so jadi bubur. Tiba-tiba dia berdiri dan membantah, katanya: "apa papa tidak lihat, itu bubur yang jadi nasi.?" dan aku butuh bubur, sambungnya lirih. Sahutku, oklah sayang, nanti papa akan bikin nasi itu jadi bubur. Tak usahlah marah apalagi menyesal, sebab nasi yang jadi bubur sulit diperbaiki, sebaliknya bubur yang jadi nasi mudah diteruskan untuk menjadi bubur. Kesulitan itupun tidak seberapa dibanding kesulitan yang baru saja ayahmu alami, akibat kehendak yang terlampau berlebihan dan memaksakannya pada ibumu yang tidak profesional menggunting rambut, akhirnya papa tidak bisa kemana-mana selama sebulan. Oleh sebab itu isilah hidupmu dengan belajar giat dan menemukan kebenaran ilmiah dalam setiap tindakan sehingga diri kita menjadi manusia yang berprestasi. Dengan sejumlah prestasilah, maka hidup kita ini menjadi berarti. Menyesal boleh, tapi jangan lama-lama. Segra perbaiki diri. Sebab setiap kesalahan ada gunanya. Ingat baik-baik anakku: Jika nasi telah menjadi bubur, kita menyesal sehari. Jika rambut salah potong, kita menyesal sebulan. Jika salah menjawab lembar ujian kelas, kita menyesal setahun. Jika salah pilih pasangan hidup, kita menyesal seumur hidup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun