Mohon tunggu...
Max Sudirno Kaghoo
Max Sudirno Kaghoo Mohon Tunggu... profesional -

Staf Pengajar dan Pengelola Jurnal Socius di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Merdeka Manado sejak tahun 2005.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mateleng

13 Januari 2012   07:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:57 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mateleng adalah bahasa etnis Sangihe subetnis Siau, yaitu kata kerja yang dirangkai dari dua suku kata yakni “ma” yang berarti mengerjakan sesuatu dan “teleng” yang berarti dengar. Dengan demikian mateleng dapat diartikan langsung kedalam bahasa Indonesia modern sebagai “pendengar”. Dalam bahasa Manado kontemporer, terdapat kata kerja “pangbadengar” yang artinya orang yang suka mendengar atau orang yang patuh. Jika pengetian mateleng dipadankan dengan pengertian “pangbadengar” maka akan menghasilkan pengertian yang terlampau sempit maknanya. Orang Siau memaknai mateleng bukan sekedar tindakan pasif memasang kuping. Melainkan diperluas maknanya sampai pada tindakan untuk memastikan bahwa apa yang sudah didengarnya harus dapat dibuktikan secara empirik. Dengan demikian urusan mateleng bukan hanya urusan telinga, tetapi juga merupakan urusan seluruh panca indera manusia. Apa yang didengarnya harus dapat dilihat, dicium, diraba dan dirasakan. Bagi orang Siau, semakin banyak mendengar, maka semakin banyak yang dikerjakan. Sebaliknya, orang yang kurang mendengar adalah orang yang kurang aktivitasnya alias orang malas. Etos kerja orang Siau itu pertama-tama terbentuk dari pendengarannya. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang terganggu pendengarannya karena cacat lahir, seperti orang bisu misalnya, sering menjadi subjek pembanding bagi orang tua (dewasa) untuk mendidik orang-orang muda yang berperilaku malas. Terdapat kalimat semacam ini: kau kere tau bobo, uage singambung, maketi tulidang (kau seperti orang bisu, malas banyak, sulit diluruskan). Perbandingan dengan orang bisu ditekankan pada fungsi pendengaran yang merupakan dasar perilaku malas dan sukar diatur. Tetapi orang yang mateleng berperilaku sebaliknya, yaitu tidak bisu (mampu bicara atau bertanggungjawab) kemampuan itu mendorong menjadi berani, giat atau rajin, tetapi mudah diluruskan atau diarahkan. Sebab pertama dari terbentuknya perilaku mateleng yaitu dimulai dari pendengaran, penglihatan, penciuman, penyentuhan dan perasaan yang diterima oleh seorang taumata secara mendalam. Inilah nilai (values) pertama yang paling mendasar dari Taumata Siau.  Nilai ini terus menerus dibangun dalam aktivitas sehari-hari, dari tahun ke tahun dan berabad-abad lamanya. Dibangun dari dalam keluarga orang-orang Siau sebagai sebuah kelaziman sehingga nampak dalam kehidupan setiap keluarga terdapat cara-cara bertindak “mateleng” yang telah menjadi kebiasaan (folkways). Perilaku mateleng ditandai oleh sikap yang peka dengan kondisi lingkungan sekitar, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang selalu diseleksi secara ketat dengan rasionalitas yang terjangkau oleh fungsi pancaindera. Sikap individu yang senantiasa menerima dan menyeleksi tersebut, saling beradaptasi dan berkontribusi positif pada tataran keluarga dan masyarakat, kemudian mudah beradaptasi dalam pergaulan yang lebih luas. Karakter itulah yang membuat orang Siau mudah diterima oleh bangsa manapun di dunia. Bangsa yang dikenal pendengar, giat dan rajin. Bangsa yang sesungguhnya telah membentuk dirinya dengan fundasi yang sangat kuat dan bermartabat. Dengan demikian mateleng adalah suatu tindakan rasional, terstruktur dan dapat dipelajari. Keluarga-keluarga yang berhasil membangun karakter mateleng dalam kehidupannya telah berhasil juga menciptakan sumberdaya manusia dengan kualitas perilaku yang cukup mapan pada usia dini, sejak anak-anak, remaja dan menjadi seorang pemuda yang cukup matang. Oleh sebab itu banyak pemuda-pemudi Siau yang merantau dan sukses membangun kehidupan pribadi mereka di perantauan. Kesuksesan itu sejalan dengan watak mateleng. Tetapi ada pula yang gagal mengelola watak kematelengannya dan terjebak pada stereotype pihak luar yang keliru memaknai kepatuhan di atas kesadaran rasional (mateleng) dengan kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran semu atau irasional (bukan mateleng). Delusi yang dibentuk dari lingkungan luar biasanya lingkungan dimana mereka mengabdikan diri (bekerja) tersebut adalah berupa anggapan bahwa orang Siau  dengan sifat rajin, penurut, jujur dan mudah diatur menunjukkan sifat dasar yang dimiliki oleh pekerja sehingga “panggilan kesayangan” selaku “ungke” sebagai laki-laki sejati dimaknai sebagai ungke dalam konteks bias pada status sosial selaku buruh (kelas proletar). Dunia luar selalu menjadi ajang untuk menguji seberapa kuat derajat kepatuhan, kerajinan, kemandirian dan kepekaan sosial Taumata Siau. Bagi pemuda yang sukses bertahan dari tekanan dunia luar, maka ia akan hidup dan terus eksis sebagai pengubah lingkungannya. Tetapi bagi mereka yang belum sukses, disarankan untuk kembali ke kampung halamannya. Itulah sebabnya dimana-mana terdapat komunitas orang Siau yang kemudian melihat dan merasakan langsung kegetiran atas kegagalan saudaranya, maka selalu dinasehati untuk kembali ke kampung halaman untuk menyelenggarakan tradisi leluhurnya “mundeno kabalre”. Tradisi “mundeno kabalre” ini adalah tradisi permandian yang dilakukan dengan menggunakan air sebagai simbol dari terserapnya nilai “mateleng” kedalam raga dan jiwa taumata Siau. Makna mateleng dalam penyelenggaraan upacara “mundeno kabalre” menandakan bahwa tingkat kepekaan sudah berada pada level tertinggi sehingga perlu dimateraikan atau dikukuhkan. Air dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat menyatukan alam roh dan alam nyata, dan air hanya dapat diserap oleh tanah. Pengukuhan yang transenden sifatnya itu dituntut harus dapat menimbulkan konsekuensi yang nyata atau terjangkau oleh pancaindera seperti misalnya tubuh menjadi kebal dari parang, bedil atau benda-benda tajam yang digunakan pihak lain dengan maksud menjahati pribadi orang Siau. Bilamana seorang pemuda telah dimandikan menurut tradisi ini, dia akan diuji, lengan akan dipotong dengan parang yang sangat tajam, punggung akan ditebas dengan kapak yang sangat tajam, kemudian dijatuhkan pada lereng-lereng berbatu terjal. Jika melalui ketiga tahapan pengujian ini seseorang tidak mendapatkan luka, maka berarti dia lulus ujian kabalre dan diperbolehkan untuk merantau (lagi). Barangkali itulah salah satu alasan, mengapa orang Siau lebih suka bekerja sebagai pelaut atau mengelola laut daripada bekerja di darat. Tetapi darat menjadi tumpuan bagi kehidupan dasar. Darat (tanah) adalah tempat berpijak sekaligus kunci awal dan akhir dari kehidupan. Semoga mereka (orang laut perantau) tidak sedang menghindar menyentuh atau disentuh tanah. Tanah bagi beberapa orang laut (perantau) menjadi sesuatu yang dihindari dalam petualangan selama masa hidupnya, tetapi menjadi teman abadi di akhir hidupnya. Mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu berdiri sendiri pada landasan hidup dengan kedua kakinya sambil memegang sejumlah kewajiban berat di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia. Manusia mateleng adalah manusia otonom pada level 1 tingkat kemanusiaan Taumata Siau.

13264391801211277696
13264391801211277696

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun