Mohon tunggu...
Max Sudirno Kaghoo
Max Sudirno Kaghoo Mohon Tunggu... profesional -

Staf Pengajar dan Pengelola Jurnal Socius di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Merdeka Manado sejak tahun 2005.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Matelang

13 Januari 2012   11:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:56 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13264553662039380043

Matelang dalam bahasa Taumata Siau berarti telah mencapai tingkat keseimbangan tertentu sebagai manusia Siau yang memiliki kemampuan mengharmonisasikan keragamanan yang rumit, menyelaraskan yang bengkok dengan yang lurus, memadu-seimbangkan manfaat dari nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif. Sikap Taumata Siau selalu rasional. Rasionalitas itu terbentuk sejak proses pembentukan kepribadian mateleng. Makna matelang tidak bergantung pada umur seseorang. Bisa saja seseorang tidak pernah disebut matelang sampai akhir hayatnya di usia yang dewasa dalam standar nominal. Makna matelang berkaitan erat dengan makna mateleng. Mateleng merupakan pribadi dengan banyak pengetahuan dan pengalamannya harus menjalani ujian pada tahapan berikutnya, yaitu ujian untuk keseimbangan.

Budaya laut yang demikian kuat terbangun dalam kehidupan bermasyarakat semakin membuat struktur sosial terdeferensiasikan pada dua ranah, yaitu ranah orang darat (tanah) dan ranah orang laut (air). Muncul kemudian corak inklusif pada penggunaan bahasa yaitu adanya bahasa laut yang disebut sasahara dan bahasa darat yang disebut sasalili. Orang darat yang orientasinya ke tanah mengembangkan sasalili, sedangkan orang laut yang orientasinya ke air menggunakan sasahara dalam mengembangkan karakteristik dirinya. Pada tataran tertentu banyak hal yang dibahasakan dengan berbeda makna. Bagi orang darat (orang kebanyakan) makna perahu adalah media yang digunakan untuk melaut. Tetapi bagi orang laut perahu adalah “rumah” mereka. Oleh sebab itu, kata perahu disebut oleh orang darat dengan sangat entengnya sebagai sakaeng (sasalili), sedangkan orang laut tidak menyebut, melainkan mengungkapkannya dengan makna yang sangat mendalam (menyentuh) sebagai malring batangeng u watangeng (sasahara) yang berarti ”ini rumahku di lautan”. Kita akan menemukan demikian banyak kata, pepatah, syair dan karya sastra yang dilahirkan dalam dua corak identitas orang Siau dalam struktur masyarakatnya itu. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

  1. Untuk menunjukkan objek yang bukan manusia seperti: nama-nama ikan, antara lain: belau (sasahara), kemboleng (sasalili) artinya ikan hiu; tolre peti (sasahara), pani (sasalili) artinya ikan tuna; tendalung (sasalili), boto pusige (sasahara) artinya ikan layar; mansohokang (sasahara), senempa (sasalili) artinyacumi-cumi.
  2. Untuk menunjukkan objek orang (manusia) seperti: laming (sasahara); ungke (sasalili) artinya laki-laki; sangiang (sasahara); uto (sasalili)artinya perempuan.
  3. Untuk menunjukkan aktivitas, antara lain: pato-pato (sasahara), leto-leto (sasalili) artinya terapung; medaraung (sasahara), mesenggo (sasalili) artinyaberlayar; mamuna (sasahara), mapule (sasalili) artinya pulang; mengeto (sasahara), medepuhang (sasalili) artinya memasak; nietoe (sasahara), nikaalra(sasalili) artinya hasil ikan yang didapat.

Laut (air) dan tanah menjadi simbol yang sangat sakral dalam kehidupan manusia Siau. Laut sebagai simbol kehidupan dan kekuatan, sedangkan tanah adalah simbol kelahiran dan kematian. Api merupakan simbol pengetahuan sedangkan angin adalah simbol kehendak. Gunung adalah simbol perlindungan dan keteguhan sedangkan logam adalah simbol kemuliaan. Demikianlah orang Siau memaknai fenomena dan benda-benda alam dalam irama kehidupan mereka. Tanah yang pada umumnya berwarna cokelat atau abu-abu, secara verbal dimaknai sebagai keadaan bolra yang berarti kotor atau kusut. Orang Siau yang orientasi hidupnya ke laut membentuk dirinya sebagai orang yang berperilaku bersih, menghindari tanah sebagai simbol “kekotoran”. Semakin kelaut, semakin bersih, dan lawannya adalah semakin ke darat atau semakin ke gunung, maka semakin kotor. Niscaya, pergaulan hidup orang laut dengan orang darat menjadi renggang, solidaritas sosial melemah dan akhirnya bangunan perilaku Mateleng yang sudah dipatrikan sejak masa kecil menjadi goyah. Semakin luas pergaulan orang laut (perantau), semakin banyak mereka menyentuh, menerima, menampung budaya-budaya asing dan beradaptasi dengan budaya asing itu sehingga sedikit banyak terpengaruh dengan nilai-nilai baru atau minimal melahirkan corak yang lebih terkini. Perantau dengan tingkat mateleng yang lemah akan menghasilkan perilaku yang jauh menyimpang dari nilai kematelengan dan tidak mungkin dapat menjadi pribadi yang matelang. Ketika mereka kembali ke darat (kampung halaman) dan berasimilasi dengan lingkungan asalnya, maka akan segera nampak perbedaan yang menyolok, bahwa orang yang baru kembali memiliki tingkat kemajuan budaya yang lebih baik daripada yang tinggal di kampungnya. Para pelaut biasanya akan membawa banyak perubahan dari aspek penampilan atau cara berpakaian. Misalnya menggunakan setelan celana blue jeans dan arloji rolex dianggap sebagai suatu kemajuan yang diraih melalui serangkaian prestasi sekaligus prestise orang laut sedangkan pakaian dari setelan kofo dan gelang dari kamasilrang (akar bahar) dianggap sebagai bolra atau kotor atau udik. Sebaliknya orang darat atau orang yang mendiami kampung halamannya atau mereka yang tidak memilih berlayar beranggapan bahwa para pelaut telah terkontaminasi dengan nilai-nilai budaya asing dan dianggap sebagai “becek” atau lota yaitu tanah yang basah akibat kena air yang jauh lebih kotor dari tanah (kotor) itu sendiri. Tradisi belayar (melaut) terbentuk sebagai komponen baru dalam struktur sosial masyarakat sekaligus menjadi media baru untuk pijakan kehidupan dari sebagian taumata Siau. Sebagian lainnya masih eksis melanjutkan kehidupannya pada pijakan lama yaitu mengelola tanah. Orang yang berhasil membentuk karakter mateleng menjadi matelang adalah seorang yang mampu menyeimbangkan atau mendamaikan seteru paham berbeda itu. Meskipun dirinya adalah bagian dari salah satu paham, tetapi cara berpikirnya dan cara bertindaknya dapat diterima oleh kedua belah pihak secara seimbang. Pada tingkat ini, struktur masyarakat mengajarkan kepada setiap individu bahwa damai adalah tujuan dari hidup bersama. Jika mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu berdiri sendiri pada landasan hidup dengan kedua kakinya sambil memegang sejumlah kewajiban berat di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam kepekaan, maka matelang ibarat orang yang telah berdiri dengan sebelah kakinya tetapi terus memegang sejumlah kewajiban di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam keseimbangan. Manusia matelang adalah manusia otonom pada level 2 tingkat kemanusiaan Taumata Siau. Reward bagi pejuang di kancah matelang adalah perak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun