Hubungan-hubungan antara bangsa baru Indonesia dan bangsa-bangsa "asli" pra-Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang bagi saya belum selesai dan masih meninggalkan banyak soal. Pada tahun 2010, saya berkesempatan untuk membuat sebuah film dokumenter mengenai hak-hak minoritas di sebuah wilayah yang dihuni Orang Tidung dan Dayak Agabag di sepanjang Sungai Sembakung, Kalimantan Timur. Ini adalah catatan perjalanan tersebut yang saya tuangkan dalam 4 bagian tulisan. [caption id="attachment_318335" align="alignleft" width="300" caption="Sungai Sembakung yang terus berubah arah dan menghasilkan danau-danau kecil tempat ikan dan udang berkumpul dan gampang ditangkap. "][/caption] Mesin tempel bertenaga 5 tenaga kuda itu mendorong ketinting yang kami tumpangi, melawan arus sungai Sembakung yang sedang surut. Di ujung ketinting, Pak Ismail duduk diam sembari mengisap rokoknya, mengawasi aliran sungai, sembari memberi isyarat pada Pak Abdullah yang memegang tuas kemudi di buritan, sembari sesekali tangannya memberikan isyarat setiap kali potongan reranting atau batang pohon yang hanyut menghalang laju. Dengan sebal, saya memandang tebing di kiri kanan yang tiba-tiba menjulang dari permukaan sungai dalam beberapa hari terakhir. Selama empat hari keberadaan kami (saya sendiri, Anggi Frisca dan Nova Teguh) di desa Atap, kota kecamatan Sembakung di Kabupaten Nunukan itu, saya dihantui pikiran jahat untuk melihat sungai Sembakung itu meluap, menenggelamkan tebing-tebing dan gerumbul-gerumbul gelagah yang berkerumun di tepian, juga akar-akar pepohonan, juga pesawahan, juga kampung-kampung... Mengitari beberapa tanjung -demikian warga setempat menyebut kelokan-kelokan 180 derajat yang membentuk meander sungai- ketinting kami melaju dengan malas melawan arus, sembari sesekali bergoyang hebat setiap kali diterpa gelombang dari ketinting-ketinting lain yang sedang menghilir. Saya berusaha menandai sejumlah pohon entah dengan buah berwarna merah, pohon-pohon madu (entah namanya menggeris entah pamatodon), dan gerumbul-gerumbul yang saya anggap khas sembari menghitung tanjung, sebelum kemudian menyerah dan membiarkan saya tersesat dalam kepungan pepohonan yang tidak bisa saya namai di kanan kiri sungai. Entah. Saya kehilangan orientasi. Sungai ini mengombang ambingkan saya dengan arah yang terus berganti. Dalam hitungan hari, pergaulan saya dengan sungai Sembakung telah memeras orientasi navigasi saya menjadi semata-mata menjadi dua arah: arah hulu atau arah hilir. Dalam hitungan tahun, para pemukim tepian Sembakung pasti telah mampu mengatasi ini dan mengembangkan ketrampilan untuk menghitung jarak di dalam dan terhadap aliran sungai tersebut relatif terhadap posisi-posisi lain. Tapi saya juga tahu, bahwa orientasi relatif ini pun serta merta akan sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu, mengingat bahwa aliran sungai itu sendiri bergeser tiap kali! Dengan kebanggaan yang pahit, beberapa kali Pak Abdullah bercerita tentang sungai yang berbelok, memotong arah dan membuat peta baru. Hanya di Sembakung sungai bisa begitu, demikian katanya. Saya tidak ingin mengecek kebenarannya. Saya sedang ingin tersesat dalam legenda-legenda yang dituturkannya, seperti saya menyerah menghitung tanjung dan pepohonan. Maka kampung-kampung di Sembakung yang selalu dibangun berdasar posisi sungai (sebagaimana semua kampung-kampung tua di Kalimantan dibangun sejak dahulu kala) selalu menghadapi kemungkinan untuk bereksodus tiap kali. Sungai ini temperamental; ia menjauhi, mendekati, menggerus, membelah, bahkan menenggelamkan kampung-kampung yang dengan sabar berusaha untuk terus berkerumun di pesisir-pesisirnya. Sungai Sembakung dan para pemukimnya seperti sepasang kekasih dalam sebuah percumbuan yang keras kepala. Saya masih menelan kekecewaan ketika akhirnya perahu menepi ke sebidang tanah separuh kering-separuh lumpur yang tampak tidak meyakinkan. Saya memandang sekeliling. Akar-akar pohon yang licin menghalangi kami dari permukaan air, sementara dataran itu sendiri tidak benar-benar rata, ditambah dengan tonjolan-tonjolan pokok-pokok pohon mencuat di sana-sini. Tak jauh dari sana, semak belukar, kayu busuk dan tumpukan dedaunan yang lembab dan genangan air menegaskan kecurigaan akan lintah dan serangga merayap yang beracun. Seluruh tempat itu tampak tidak layak. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H