Mengemukanya isu pencabutan perda syariat mengingatkan saya pada kejadian beberapa tahun silam di daerah tempat tinggal saya, Gorontalo. Seorang ustadz yang akrab dengan kami menceritakan bagaimana seru cerita dibalik kebijakan walikota yang mewajibkan seluruh aparat pemerintahan di lingkungan Pemkot agar bisa membaca Al Qur’an.
Beberapa kejadian lucu (setidaknya bagi kami) seperti seorang PNS yang meletakkan lafaz Al Qur’an dalam huruf latin di sela mushafnya namun kemudian ketahuan, atau celetukan pasrah siap menerima sanksi dari PNS lain yang mengundang senyuman dan mungkin ledekan dari koleganya.
Mungkin jika anda belum mengenal kultur dan budaya masyarakat Gorontalo maka anda akan menganggap apa yang dilakukan walikota tersebut sebagai tindakan semena-mena atau intoleransi. Tapi jika anda pernah tinggal dan merasakan “suasana” Gorontalo maka anda takkan heran bagaimana aturan tentang kewajiban melek Al Qur’an itu sangat diapresiasi oleh masyarakat dan sebagian besar pegawai di lingkungan pemkot.
Tentu saja ada beberapa orang yang merasa keberatan terutama bagi mereka yang tidak bisa (atau sudah lupa) cara membaca Al Qur’an, tapi mereka tidak melakukan protes apalagi demo.
Gorontalo adalah daerah yang sangat kental nuansa keislamannya. Bahkan daerah ini kemudian diberi julukan “Serambi Madinah” yang seolah mengisyaratkan kemiripan kondisi masyarakatnya dengan Aceh yang bergelar “Serambi Mekkah”. Masyarakatnya juga mengenal semboyan “Adat bersendikan syara’, Syara’ bersendikan kitabullah” sebagaimana semboyan masyarakat Minang. Secara ‘default’ orang Gorontalo beragama Islam.
Sebagian kecil yang tidak beragama selain Islam biasanya terjadi karena perkawinan dengan orang Manado yang mayoritas bergama Kristen. Dan meskipun bertetangga (bahkan penah berada dalam naungan satu provinsi) dan berbeda 180 derajat dari segi agama, kedua daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah paling sepi dari konflik.
Kentalnya nuansa Islam di Gorontalo bisa diamati dari adatnya yang sebagian besar mengadopsi nilai-nilai luhur Islam, begitu pula dengan budayanya, semisal tarian dan nyanyiannya juga sangat kental dengan nuansa Islam. Masyarakatnya ‘dekat’ dengan Masjid, para ulama dan sesepuh adat sangat dihormati bahkan suasana relijius akan tampak dari perbincangan masyarakatnya sehari-hari.
Dengan gambaran masyarakat seperti ini, rasanya tidak perlu saya jelaskan lagi mengapa kebijakan-kebijakan semacam kewajiban bisa baca Al Qur’an menjadi hal yang sangat wajar bahkan seharusnya ada. Seandainya ada orang yang berusaha memprovokasi masyarakat agar menolak aturan semacam itu dengan dalih intoleransi, saya yakin malah akan dianggap aneh dan mungkin malah dianggap lucu.
Dan Gorontalo, Aceh, Padang, NTB dan Bulukumba hanyalah sebagian kecil dari banyaknya daerah yang memiliki karakter masyarakat yang serupa. Kearifan lokal yang mengadopsi nilai-nilai Islam sejak lama menjadi tali perekat sekaligus panduan masyarakatnya dalam menjalani kehidupan yang damai dan tentram.
Maka, jika kemudian tiba-tiba datang orang dari luar tanpa ba-bi-bu dengan semena-mena menggunakan logikanya sendiri dan mengatakan berbagai aturan yang bernuansa islami itu sebagai aturan yang intoleran, entah harus bilang apa. Dalam benak saya, hanya ada dua kemungkinan tentang kondisi orang ini. Mugkin dia memang arogan dan suka memaksakan kehendak ketika berkuasa atau ia memang penganut sekularisme?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H