[caption caption="Sungai Kuala Tulap Girian Bitung SULUT"]
Waterfront City Of Singapore benar-banar mengeksplorasi air sebagai harkat hidup orang banyak bahkan memanfaatkan Laut dan Sungai sebagai nilai plus-plus untuk menguatkan potensi alam dan wisata di Negara itu. Menurut yang saya baca dari berbagai media, ternyata mereka menata kota/negara ini sejak tahun 70-an.
Bebarapa hari lalu, dalam suatu kesempatan untuk memenuhi panggilan passion saya dalam dunia fotografi berikut juga panggilan jiwa pemberdayaan saya sebagai seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat, disabtu yang berawan saya bermaksud mencari objek foto sekaligus merambah bantaran sungai yang berada sangat dekat dengan jalan Provinsi yaitu sepanjang jalur Girian Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Dikelurahan Manembo-nembo Bitung SULUT, saya merasa enjoy karena, saya cukup banyak mengenal masyarakat sepanjang bantaran Sungai “Kuala Tulap Girian” sebab lama bertugas diseputaran daerah ini. Maksudnya saya tertarik untuk memotret Kawasan Kumuh disepanjang Bantaran Sungai Lingkungan satu kelurahan Girian Weru Satu yang saya dapatkan info/datanya dari Lurah Kelurahan yang bersangkutan.
“Saturday Evening Photo Fever” atau, “Demam Foto di Sabtu Sore” hehehehe, kira-kira demikian saya menamai kegiatan plus ini, tanpa sengaja saya tertarik melihat ada jalan masuk dari tanah kosong menuju Kawasan Kuala Tulap Girian, saya memarkir motor matic yang saya kendarai di pinggir jalan, saya pikir cukup aman dan langsung menapaki jalan setapak itu, kaget saya ketika sampai ( hanya sekira 20 meter) melihat ada sebuah gubuk kecil didepan mata saya, tepat dibantaran sungai dan ada seorang kakek yang kemudian saya kenal bernama Akhmad Tayeb, 71 tahun. “Slamat sore.....” suara saya cukup nyaring, mengingat suara air sungai yang mengalir dan tersentuh batu-batu cukup menimbulkan suara seperti musik Bethoven.
Saya tersenyum sumringah, kaget sekaligus trenyuh melihat temuan saya sore itu, kakek tua penunggu Kawasan Kuala Tulap yang membalas salam saya sambil tersenyum, “Boleh saya melihat-lihat dan memotret Kuala (Sungai)?” lanjut saya. “ Mari-mari.....silahkan..” “Opa tinggal disini sendiri? Sendiri?”
Kegiatan potret-memotret saya sore ini tidak berlangsung lama, matahari sudah mulai meredup dan saya lebih tertarik untuk berbincang (kata lain wawancara) dengan Opa Mat, demikian akhirnya saya lebih enjoy memanggilnya. Ketika pamit, saya berjanji untuk datang lagi.
Hari Senin siang, saya mengajak teman-teman kelompok pemberdaya masyarakat untuk makan dipinggir sungai, tanpa mengatakan bahwa saya bermaksud memperkenalkan mereka dengan Opa Mat, singkat cerita, kami membeli makanan, “Tambah satu bungkus ya....”, kata saya, “Buat siapa?”, tanya Brian, “Ada....bli jo... (beli saja)”, sambung saya. Pikir saya, nanti biar buat buka puasa Opa Mat.
Teman-teman tak kalah kagetnya ketika melihat Opa Mat dan rumahnya, sangat sederhana tapi asri karena disekililing sayur, pisang, cabe, ubi, ada kolam kangkung dan ada tumpukan kayu bakar yang disusun rapi. Menghadap sungai lagi, ini rupanya mengapa banyak orang senang/suka tinggal dibantaran sungai sejuk dan kesannya adem. Tapi harus ingat, berapa meter yang dibolehkan agar boleh aman tidak menimbulkan malapetaka jika hujan deras.
Miracle & Opa Mat di Bantaran Sungai