Aku sampai di Istanbul pada akhir tahun 2020. Angin kencang berhembus di perbukitan Sariyer, orang-orang berjalan sembari menggenggam tangan pasangannya di jalan setapak Kocatas.Â
Aku tak terbiasa dengan udara dingin, seyogyanya aku terlahir dari daerah dengan suhu terpanas di Indonesia, namanya Lubuklinggau. Aku menggiring dua koper masing-masing seberat 20 kilo, sembari penasaran dengan apa yang orang Turki lakukan saat awal musim dingin yang berangin.
Satu minggu setelahnya, Sariyer ditutupi oleh kabut tebal, tiga hari tanpa cahaya matahari dan orang-orang Turki berjalan di tengah kabut seperti seorang manusia serigala, matanya melihat jernih di tengah badai salju, sementara orang asing memilih untuk mendekap di rumah, memanjakan diri dengan penghangan ruangan dan segelas cokelat panas.
Aku selalu melihat fanomena ini setelahnya, Turki selalu diselimuti oleh kabut dan cuaca buruk setiap akhir tahun, namun semuanya akan berubah saat musim semi telah menumbuhkan tulip. Negeri ini seakan diterpa cahaya ilahi yang selalu disinari setiap tahunnya. Aku tidak bisa membayangkan betapa bahagianya kali pertama melihat bunga-bunga bermekaran begitu indah.
Pohon-pohon berlomba-lomba menghasilkan buah, bau harum tercium dimana-mana, aku sampai mengusap mata tak percaya, melihat anak-anak kecil tersenyum diantara kerumunan orang dewasa yang sedang merasakan hawa cinta.Â
Bangunan-bangunan tua juga tiba-tiba bersinar terang, saya tidak bisa membayangkan melihat Blue Mosque dan Hagia Sofia dikelilingi bunga, bangunan tua itu dibangun dibawah cahaya matahari yang sama sekali tidak terik, masing-masing menaranya memantulkan gelombang sutera, teringat akan kisah-kisah lama jalur perdagangan dunia pada abad ke-50, dimana menara-menara Istanbul menjadi tanda pemberhentian kapal-kapal pedangan, kota ini menghubungkan peradaban antara barat dan timur, kristen dan islam, putih, hitam atau kulit berwarna semuanya pernah hidup dalam peradaban panjangan disini.
Saat ini negeri ini tengah berduka, tepat ketika musim dingin yang mungkin tidak se-ekstrim tahun kemaren, tapi hawa kabut itu tetap sama, Turki selalu berkabut di akhir tahun dan orang-orang itu, entah kenapa seakan berevolusi menjadi serigala yang hidup didalam kabut.
Tapi, musim semi segera tiba, dunia harus membantu negara ini tersenyum kembali di saat tulip bermekaran. Sepanjang sejarahnya, kita semua bahagia saat Turki ikut bahagia, negara ini dipenuhi dengan orang-orang yang suka tersenyum. Tulip harus tumbuh di musim semi ini! Bagaimanapun caranya!
Peradaban adalah harga yang mahal, orang-orang Turki adalah bangsa yang hidup dalam kabut yang tebal di musim dingin, namun saat musim semi tiba, ia selalu mengajak seluruh dunia untuk tersenyum. Semua orang, entah manusia maupun malaikat, juga burung, anjing dan kucing, binantang-binatang lain juga akan datang ke Turki, karena Turki selalu membagikan kebahagiaannya di musim semi.
Dunia harus membantu negara ini pulih, nyawa yang mati memang tidak bisa dihidupkan kembali, namun senyuman adalah hal yang berbeda, ia adalah pemberian dan semoga ia kekal selamanya. Sekali lagi, musim semi hampir tiba, tulip akan bermekaran, sinar matahari yang indah itu akan terbit, dan aku yakin Turki akan bangkit kembali, bangkit dengan senyuman itu... Aku harap senyum itu tidak hilang, wahai bangsa yang hidup di dalam kabut musim dingin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H