Mohon tunggu...
Mahendra Dilegant
Mahendra Dilegant Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpenis, Catatan Perjalanan dan Filosofis Esai.

Membebaskan diri dari segala belenggu duniawi dengan menulis. Menyukai kebebasan tulisan yang mengandung sarkasme dan liberal.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hujan Bulan Juni...

5 Februari 2023   14:04 Diperbarui: 5 Februari 2023   14:13 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"BTW, kalian nggapapa gagal, yang penting jangan menyerah terlalu cepat!"

Itu kalimat pertama yang diagungkan kak Desi, wanita yang meneriakkan yel-yel Istanbul di telinga kami. Baginya Istanbul bukan sekedar kota besar biasa, ia adalah simbol perjuangan islam di masa lalu, kota ini diperjuangkan dengan nama Tuhan dan dicatat di kitab suci sebagai hadiah untuk muslim di kemudian hari.

Namun bagiku Istanbul tak seperti yang kak Desi lukiskan. Aku hidup dan belajar di kota ini sedari tahun 2021 akhir, sebelumnya kami memulai perkuliahan online sejak September 2020. Aku dan kak Desi sama-sama penerima beasiswa pemerintah Turki, dia mahasiswa S2 di Ankara jurusan Biologi, sementara aku mengenyam pendidikan sarjana di Istanbul, artinya dua insan yang terpaut umur tak kurang tiga empat tahun.

Sesampainya diriku di Istanbul ini untuk niat mengubah nasib. Aku tahu di Indonesia pendidikan masih belum berkembang, orang-orang masih tabu mendiskusikan topik-topik akademik, disatu sisi budaya sekolah kita adalah warisan jajahan, setelah Belanda pergi guru-guru honorer dijajah oleh PNS, murid-murid terjajah oleh kurikulum, anak-anak miskin terjajah oleh subsidi yang salah sasaran dan sebagainya. 

Hormat ku kepada Istanbul adalah karena pendidikan disini gratis untuk penduduk asli, fasilitas perpustakaan dimana-mana, wifi gratis untuk semua orang dan diskon transportasi untuk pelajar yang mencapai 90 persen. Aku tertegun, tapi aku tak melihat ada kata-kata kak Desi. "Istanbul penuh dengan aura islami", yang aku lihat hanyalah potongan carik sejarah yang tak mungkin dilengkapi lagi, bagaimana bisa sebuah ideologi berdiri diatas keputusan membuat negara republik? Juga bagaimana bisa menghentikan komitmen pahlawan bangsa Turki yang berdarah-darah melewati masa yang sulit hanya dengan seutas teologi yang belum ideal. Maksud ku, orang Turki seakan lebih tahu cerita hidup mereka dibandingkan orang luar sendiri.

Tapi aku tertegun terlalu cepat, setelah sekian banyaknya drama hidup yang aku lakoni disini. Aku belajar banyak hal bahwa apa yang dikatakan oleh kak Desi tak sepenuhnya salah. Hanya aku saja yang kurang tepat mengartikan kata 'sejarah' dan 'islam'. Singkatnya, Islam adalah kata yang literal, bukan hanya tentang agama, tapi juga perilaku, gaya hidup, pilihan karir dan sebagainya. Sedangkan kata sejarah juga bukan tentang 'masa lampau' saja, namun ia adalah 'peninggalan' dan identitas. Artinya di sebuah geografi yang sama, pernah ada kejadian-kejadian penting, pernah ada kehidupan dan aktor-aktor lain, juga pernah ada serangkaian peristiwa yang membentuk cerita dan berita.

Islam itu tumbuh seperti hujan. Aku melukiskannya sebagaimana hujan bulan Juni kemaren, dimana aku berteduh setelah baju ku basah kuyup dilahap air. Aku membayangkan, hujan-hujan ini adalah tombak dunia, kita perlu berteduh supaya terhindar dari beberapa hal, itulah islam. Islam adalah insting untuk memberikan cara berpikir yang positif dan melindungi kita dari segala macam penyakit dunia. Aku melihat awan yang belum berhenti mengeluarkan air, mungkin hujan akan berhenti, namun juga akan turun lagi, karena kehidupan memang tak bisa ditebak. Namun bayangkan anda membangun prinsip keislaman anda sebagai sebuah rumah berteduh, tak harus mewah, yang penting kokoh. 

Artinya, medan apapun, Islam tetaplah sebuah fondasi, kita tidak bisa merubah banyak hal, juga tidak boleh memaksakan sesuatu kepada orang lain. Tuhan merencanakan skenario terindahnya. Namun aku menyesal mengenal islam hanya sebagai agama belaka, juga terlalu memaksakan pemikiran untuk tidak menerima konsep-konsep lain yang ternyata memiliki makna majemuk yang banyak. 

Hujan bulan Juni ini, aku kembali merenungi, Istanbul tak pernuh sepenuhnya menjadi islami, karena islam itu sendiri ada di mana-mana, ia tak bisa dipaksana, selebihnya ia harus dicari. Karena ia tidak bersifat masif, maka ia bisa hadir dimana saja, ia adalah keindahan. Lalu, aku memejamkan mata, sembari berteduh dari hujan-hujan yang ada. Ketika hujan berhenti dan cahaya tiba, aku melanjutkan perjalanan, sebagai anak kuliah mendisiplinkan diri dengan merenungi penciptaan adalah hal yang manfaat, setidaknya dunia ini terlalu banyak cobaan, dan kita hanyalah setitik dari miliaran kehidupan yang masih bernafas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun