"Bapak, sehat-sehat. Saya disini insyaallah baik-baik saja kalau bapak juga sehat."
Kalimat terakhir menutup telepon, selepas itu, butuh kalender melompat ke tanggal 3 berikutnya baru punya kesempatan menggenggam handpone lagi. Begitulah singkatnya rindu dilepaskan. Komunikasi lewat HP hanya dibatasi sebulan sekali, begitupun kunjungan yang setiap bulan dijadwalkan kini harus ditiadakan sementara karena pandemi.
Ada empat puluh orang yang mengantri di belakang Lasut. Semuanya santri kelas 1 SMP. Masing-masing hanya diperbolehkan menelpon selama lima menit. Bila tak kunjung telepon diangkat, maka haruslah mereka menuliskan surat di atas kertas yang nantinya akan difoto dan dijapri ke wa orang tua mereka.
Lasut sungguh tak tahu bahwa dua hari setelah menelpon ia akan jatuh sakit. Begitupun orang tua nya juga tak tahu bahwa sebelum mengirimkan paketan bulanan Lasut, ia akan di PHK oleh pabrik tempatnya bekerja. Senang-senang saja rasanya mendengar anak di podok masih betah, juga tak ada pikiran bahwa hari-hari kedepan ternyata punya kejutan yang tak biasa.Â
Lasut pun sama, ia masih anak berusia 13 tahun, baginya mendengar ayahnya meng-iya-kan mengirim barang permintaannya adalah sesuatu yang paling menyenangkan selama satu bulan ini.Â
Ia tak terlalu faham bahwa pekerjaan adalah mata kail sebuah rumah tangga. Tanpa ekonomi yang stabil, sebuah ikatan biasanya akan diterjang ombak yang dahsyat.
Benar saja, Allahurabbi. Sehabis menelpon, sebuah surat mendarat dari pabrik ke depan rumah mereka. Ayah yang membacanya mulai tak kuat membendung air mata, emak juga tiba-tiba naik pitam. Ia langsung saja menyalahkan suaminya yang hanya tamat SMP itu.Â
Tubuh kurus ayah adalah masalah besar dimata emak yang sedang dibara amarah. Ayah adalah pekerja kasar di pabrik semen, dengan mengandalkan gaji satu juta setengah, ia dengan percaya diri mengontrak bedeng dan membuka warung jajanan ringan untuk anak-anak sekitar.Â
Tapi, menurut emak itu tak cukup, tubuh ayah yang kurus dan tenagangya yang bisa dibilang lemah suatu ketika akan digerus oleh kapitalis perusahaan.Â
Mempertahankan orang-orang yang kurang produktif tentu dipandang sebagai sebuah problem bagi manajer pabrik, disamping itu, kebiasaan ayah membeli buku untuk Lasut juga dianggap hal yang paling boros sama sekali.