Mohon tunggu...
Pohon Kata
Pohon Kata Mohon Tunggu... Freelancer - Going where the wind blows

Ketika kau terjatuh segeralah berdiri, tak ada waktu untuk menangis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Damar Nusantara #2 (Mbok Yem)

25 Maret 2020   20:10 Diperbarui: 25 Maret 2020   20:37 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
segelas kopi (dok. pribadi)

Tabir kabut perlahan mulai meninggalkan punggung gunung. Gelappun perlahan meninggalkan pelukannya. Perlahan mentari menyembul dari garis batas mataku diujung sana. Cericit burung mengganti peran suara malam, pagi itu.

Kubergegas beranjak dari peraduanku, duduk sejenak lalu mengambil sisa kopi dingin disudut bivak....srreerp rasanya masih manis diujung lidah namun dingin.

Rasa syukur itu...
Sebelum berkemas untuk bergegas melanjutkan perjalanan ke puncak, aku berencana mengisi perut. Kuraih ranting-ranting, mengumpulkannya hingga beronggok kecil. Korekpun kunyalakan perlahan kuarahkan ke onggokan ranting, tak perlu waktu lama nyalalah api. Misting kosong kubongkar, kuisi air dan 1 bungkus mie instan sudah tenggelam didalamnya.
Hmmm, pagi ini kuberencana sarapan dengan mi instan.
Sembari menunggu makanan masak, kubongkar bivak. Perlahan dan dengan cermat kulipat dan masukkan ke bibir tas carier. Mataku menelisik kesekeliling berharap tidak ada satupun barang yang tertinggal. Seberes memasukkan beberapa perlengkapan, mie instanpun sudah terlihat lunak disertai air yang telah mendidih lantas kubuka bumbu dan kutaburkan didalam misting, kuaduk perlahan sembari menikmati bau harum dan sedap dari adukanku tadi.
Mie instanpun siap disantap, nikmat sekali dipunggung gunung ini. Makanan sederhana favorit buat pengelana, dipagi yang cerah ditemani cerianya sang mentari. Tak menghabiskan waktu lama, makanan tandas di lubang mulutku mengisi ruang kosong diperut yang semalaman ikut istirahat bersama mata dan lelahku.
Sembari membersihkan dan mengemas misting, kubakar rokok yang sedari tadi kusimpan. Sebatang rokok sebagai penutup sarapan pagiku. Nikmat tiada terkira, Alhamdulillah.
" Tuhan, terima kasih tlah Engkau jaga tidurku, ijinkan kulanjutkan lagi perjalananku", gumamku dalam hati.
Tas carier kuraih dan dengan susah payah kugendong di punggungku. Waktunya perjalanan dimulai lagi.

Meniti langkah...
Perlahan namun pasti, langkahku silih berganti menapaki jalan setapak menuju puncak Lawu. Sesekali tersandung kerikil ataupun batu yang menonjol disana sini. Keringat mulai membasahi badan diantara angin pegunungan yang meyegarkan. Tertatih, merangkak kadang kulakukan diperjalanan waktu ini. Sesekali burung jalak hinggap disepanjang jalanan setapak, seakan menuntun atau sekedar menemani pendakianku. Terkadang pula aku berhenti sejenak, mengatur nafas dan sedikit meneguk bekal air yang kubawa...tak banyak hanya sedikit biar terbasahi tenggorokan ini.

Mbok Yem...
Setelah beberapa jam perjalanan, sampailah kakiku di depan warung Mbok Yem warung legendaris yang lama telah menjadi buah bibir diantara para pendaki.
Sambil menaruh perlengkapan untuk melepas beban, kusapa mbok yem " Sugeng siang mbok, pripun kabare?".
"Alhamdulillah pangestune Gusti Pangeran, sehat nak", jawab mbok yem dengan sedikit senyum sambil menggapai tanganku untuk berjabat tangan.
" Pesen kopi nggih mbok, pahit saja", selaku lagi sambil kuselonjorkan kakiku diatas tanah sambil duduk.
Mbok Yem dengan cekatan membuat kopi pesananku.
Sebatang rokok lagi-lagi kuambil, kujepit dengan dua jari lalu ku letakkan dibibir dengan hati-hati, kubakar ujungnya sambil kuhisap perlahan. Mataku memicing mengurangi pengaruh asap yang membasuh wajah. Huuuh...kulepas lagi asap yang kuteguk dengan tanpa irama melalui hidung dan mulut, nikmat terasa didinginnya siang diwarung mbok Yem.
" Mas monggo kopinya", ujar wanita yang seusia ibuku ini memecah keheninganku.
" Ooo nggih siyap mbok, terima kasih", jawabku dengan menggapai segelas kopi yang disajikan mbok Yem.
Siang itu warung mbok Yem lengang, hanya ada beberapa pendaki yang terlihat mengobrol diluar dan di dalam shelter punya simbok.
" Nak... kalau boleh tahu namanya siapa?"
" Nama saya Damar mbok, lengkapnya Damar Nusantara...saya dari Kediri", pungkasku menjelaskan sambil meneguk kopi panas yang mulai mendingin karena pengaruh cuaca di ketinggian. Dikejauhan sana terlihat cakrawala yang diliputi lautan awan, indah terlihat dimata.
" Nak Damar sudah pernah mendaki gunung?" tanya mbok Yem lagi.
" Belum mbok, ini pendakian pertama saya. Ternyata cukup melelahkan." jawabku sembari tertawa.
" He..he...bukan masalah nak Damar, memang kalau kita tidak pernah mencoba sesuatu kapan kita akan menikmati tantangannya ," tawa mbok Yem memecah suasana diantara obrolan kami.
" Nak Damar, lihat mbok Yem ini, lihat warung ini, bukankah hal yang mustahil bila dipikirkan, sebuah warung berdiri disini. Bagaimana kulakan barangnya? siapa yang ngangkut kesini? siapa yang beli? berapa laba yang saya dapatkan? bisakah membuat saya kaya? Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali diutarakan para pendaki ke saya" lanjut Mbok Yem bercerita.
" Oh ya mbok...sejatinya apa yang membuat simbok membuka warung di puncak Lawu ini, apakah ada sejarah atau latar belakangnya hingga simbok mendirikannya? ", tanyaku kemudian.
Mbok Yem menelisik sudut mataku, seakan menggali jiwa yang ada diragaku.
" Hmmm, biar simbok dan Tuhan saja nak yang tahu jawabannya. Yang pasti disini simbok tenang nak, diusia tuaku ini mendekatkan kepada yang Kuasa adalah pilihan terbaik. Ditemani alam yang mendamaikan tak ada bising, tak ada konflik, semuanya damai. Tiap pagi simbok menyongsong hadirnya mentari, diujungsana di batas cakrawala. Simbok juga bisa memanjakan mata hanya sekedar melihat hamparan awan disana" tunjuk mbok Yem ke arah cakrawala. Kulihat mata simbok berkaca, entah apa yang dipikirkan dalam benak beliau.
" Kalau nak Damar, kenapa harus mendaki ke Lawu? Kok tidak Semeru atau lainnya?"
" Trus kapan pulangnya?"
" Rencana berapa hari disini?", tanya mbok Yem tak kalah penasaran.
" Mbok, usia saya sekarang 20 tahun masih muda bukan. Mumpung kedua orang tua saya masih sehat, saya ingin mengembara. Mencari pengalaman hidup, bertemu dengan banyak manusia. Saya ingin belajar tentang kehidupan, belajar tentang cara berjuang dan belajar tentang semua hal. Saya berencana melakukan perjalanan keseluruh pelosok Nusantara Mbok." kataku memulai menjawab pertanyaan beliau.
" Tapi entah kenapa, kok tiba-tiba terlintas mengawali ke Gunung Lawu?, itu yang saya tak mengerti mbok". Pungkasku
" Nak Damar, lakuning urip....lakuning manungso tansah dituntun Gusti Ingkang Kagungan Gesang, bukan hal kebetulan nak Damar sampai disini. Sama halnya daun yang jatuh dari pohonnya, bukan semerta jatuh tapi tetap ada saja lakon yang mewarnainya...pasti ada maksudnya karena Tuhan selalu punya rahasia buat umatnya", jawab mbok Yem dengan penuh maksud.

" Biarlah waktu nanti yang menjawab nak, semoga perjalananmu nanti dan kelak selalu lancar nak Damar. Tapi ingat satu hal, bersihkan hatimu...laku apik kudu dilakoni", imbuh mbok Yem
" Siyap mbok!", ujarku bersemangat.
" Oh ya mbok, kalau diperkenankan mungkin saya akan tinggal beberapa minggu disini, boleh nggih?"
" Trus saya tak bantu-bantu panjenengan, jualan ataupun kulakan barang ke bawah...pareng nggih?", akupun memohon.
Mbok Yem pun tersenyum siang itu, mengangguk menandakan setuju saya membantu beliau.

Jam tanganku menunjukkan pukul 14.00 WIB, tanpa sadar sudah beberapa saat waktuku kuhabiskan bersama simbok. Saatnya berkomunikasi dengan Tuhanku, menyembah serta berserah diri. Berterima kasih atas segalanya....

Kabut kembali bergelayut dipuncak Lawu, dingin tetap menyapa hari itu. Obrolan bersama mbok Yem seakan membuka sesuatu yang masih menjadi misteri. Entah apa yang akan terjadi detik, menit dan hari berikutnya. Yang pasti malam ini aku akan bermalam di Lawu, entah berapa lama akupun tak tahu.


Hari ini aku belajar tentang mbok Yem...
Seusia ibuku bahkan mungkin lebih tua...
Kesederhanaan, tekad dan keikhlasan menempati ketinggian Lawu...
Menyajikan shelter, makan dan minum dengan bonus obrolan...
Jauh dari keramaian, jauh dari "kenyamanan"
Tapi mungkin dekat dengan ketenangan...
Bukankah itu yang dicari manusia dan para pendaki?

Entahlah....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun