Demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan di tangan pemimpin otoriter. Dua Profesor Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam tulisanya How Democracies Die menunjukkan kerusakan rezim selama abad ke-20 dan ke-21 akibat politisi yang melanggar norma-norma dan merusak pondasi demokrasi. Di Indonesia upaya mengubah konsititusi untuk melegalkan masa jabatan Presiden 3 periode atau menunda pemilu terus digulirikan, ini adalah ciri-ciri nyata bagaimana upaya oligarki merusak demokrasi kita.Â
Konsitusi Amerika Serikat hanya empat lembar tetapi dianggap paling berilian di dunia dan banyak diadopsi oleh banyak negara. Empat lembar ini adalah konstitusi tertulis, dan sisanya konstitusi tidak tertutulis yang berdasarkan atas norma-norma dan kebiasaan. Misalnya di Amerika selama 150 tahun masa jabatan 2 periode tidak tertulis dalam konstitusinya. Nanti pada tahun 1951 setelah Presiden ke-32 Roosevelt melanggar norma itu barulah dituangkan secara tertulis, Roosevelt menjabat selama 4 periode.Â
Mari kita mengintip konstitusi kita UUD 1945 yang memuat kententuan dasar pencapresan. Dalam konstitusi kita disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya, masa jabatan presiden ditetapkan maksimal dua periode. Disisi lain signal penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan 2 atau 3 tahun timbul tenggelam tetapi terus bergulir, terkahir isu krisis ekonomi Indonesia pada tahun 2023 disinyalir dapat menjadi alasan baru yang kuat. Ini perlu diwaspadai pelaksanaan Pemilu 2024 adalah perintah konstitusi yang harus dilaksanakan pemerintah.
Setali tiga uang penerapan konstitusi kita pasal 6A sudah sejak lama dikondisikan. Pada ketetuan tersebut diamanatkan pasangan calon Presiden dalam pemilu diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Namun pada kenyataanya ketentuan dasar ini seperti dibegal oleh aturan di bawahnya sehingga tidak semua parpol bisa mengusung capres.
Padahal banyak anak bangsa potensial hari ini, namun sayangnya tidak bisa memberikan pengabdian terbaiknya. Para calon pemimpin ini terjegat syarat ambang batas kursi 20 persen sebagaimana undang-undang pemilu. Sehingga mau tidak mau harus berkoalisi dengan oligarki dan pemilik modal yang sarat kepentingan kapital. Jika demikian korbanlah rakyat Indonesia dan tergadailah republik ini. Pemimpin kita akan ditunggangi.
Sebenarnya dalam UUD ketentuan ini tidak ada, namun dengan segudang siasat aturan ini diadakan. Sesimpel anda ingin naik pesawat terbang tetapi tidak memiliki tiket, di sisi lain ada yang naik pesawat dengan menggunakan tiket kadaluwarsa. Aturan ini telah berkali-kali digugat namun begitulah, kepentingan membentengi sehingga tak tergoyahkan.
Satu-satunya cara untuk memperbaiki adalah mengganti orang-orang yang ada di dalamnya pada pemilu nanti. Namun 1000 sayang politik itu seperti cinta dapat membutakan dan menurunkan intelektual, kita seoalah dinaikkan ke atas kapal menuju pulau idaman yg dicita-citakan, tetapi sayang sekali kita tidak akan pernah sampai di pulau itu, kita hanya terus dibujuk dan dibuat mabuk sampai kita terlena. Begitulah demokrasi kita terus terjerat, tak pernah berlabuh.Â
Bagi mereka yang sadar akan keadaan kritis ini mempertanyakan kenapa kapal kita tidak sampai tujuan? Maka akan dibanned dan dinilai memprovokasi, ilustrasi sederhananya seperti mematikan mikrofon rakyat dalam musyawarah atau bisa langsung mengganti hakim konstitusi yang tak mau kompromi.
Begitulah saya mengintip konstitusi kita. Tetapi syukurnya masih banyak orang-orang yang ingin berjuang memperbaiki. Kita semua berkewajiban untuk itu.Terkahir saya ingin mengutip ungkapan Persiden Amerika Benjamin Horirson yang mengatakan "Bagaimana pun konstitusinya tidak bisa menjamin demokrasi di tangan pemimpin yg otoriter". Siapkan dirimu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H