film Indonesia yang dikenal dunia kepada para remaja kita, meski berhadiah motor saya ragu mereka bisa menjawab dengan cepat dan tepat. Sebegitu pesimisnya saya? Nyatanya demikian.
Kalau saja Pak Jokowi memberikan kuis untuk menyebutkan judul-judulGarin Nugroho dalam Seminar Ubud Writers and Readers Festival 2019 menyatakan bahwa Indonesia perlu memiliki setidaknya lima sampai enam sutradara yang konsisten berkarya dalam kurun waktu setidaknya 10 tahun untuk menjadikan Indonesia diakui dan eksis dalam peta perfilman dunia. Sungguh membutuhkan nafas panjang. Apakah Indonesia sudah berada dalam posisi itu? Dengan cepat Garin menjawab bahwa itu belum terjadi.
Lantas apa yang salah dengan Film Indonesia? Rayya Makarim, penulis skenario Film “27 Steps of May” yang juga produser film banyak judul film Indonesia, dalam forum yang sama membeberkan bahwa Indonesia masih jauh dari standar industri perfilman dunia. Jangan bicara soal standar Internasional, menurut 'normal standard’ dalam sisi teknis, estetik pun dinilai Rayya masih sangat jauh panggang dari api.
Mengapa Indonesia belum sampai pada level terbaiknya untuk diakui di mata dunia? Utamanya adalah karena sengkarutnya ekosistem film kita sehingga masih sangat menjadi beban hidup industri film yang belum kunjung usai. Mari kita urai benang kusut ini satu per satu.
Pertama, Film Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Masyarakat kita masih lebih menyukai film-film impor dari Amerika, hingga Korea Selatan. Hal ini bisa jadi disebabkan sineas kita belum mampu menghadirkan premis-premis yang menarik untuk penonton lokal. Selain itu kurangnya permodalan menyebabkan sineas kita tidak mampu memberi packaging film yang mengacu pada standar film berkelas mulai dari pra produksi, produksi hingga aspek promosi.
Kedua, kurang optimalnya dukungan Pemerintah terhadap kemajuan film Indonesia. Film Indonesia belum memiliki payung yang jelas. Industri film dioper dari satu badan ke badan lain. Sehingga kebijakan mengenai regulasinya, dukungan permodalan, pendampingan film-film kita untuk ekspor dan ikut serta dalam festival internasional cenderung minim jika tidak bisa dikatakan tidak ada.
Di Indonesia terdapat Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang berdiri pada 2014. Berdasar Undang Undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, BPI terdiri dari masyarakat atau insan yang ikut serta dalam penyelenggaraan perfilman. Dalam situs resminya tertulis tugas BPI adalah menyelenggarakan festival film dalam negeri, mengikuti festival luar negeri, menyelenggarakan pekan film di luar negeri, mempromosikan Indonesia sebagai lokasi syuting film asing, memberikan masukan untuk kemajuan film Indonesia, melakukan penelitian dan pengembangan perfilman, memberikan penghargaan, memfasilitasi pendanaan pembuatan film yang memenuhi standar dunia.
Indonesia sempat memiliki Pusat Pengembangan Perfilam (Pusbangfilm). Pada tahun 2020 berganti nama menjadi Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru (PMMB), di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pada tahun 2015, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) berdiri dan sempat mengadakan program Akatara yang mempertemukan para investor dan sineas pada 2017. Ini berarti industri film sempat mendapat perhatian dari sejumlah badan pemerintah.
Tapi pada kenyataannya sineas Indonesia masih bekerja mandiri dan sporadis. Karena Puslitbang berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan dalam Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sehingga dukungan Pemerintah masih sebatas aspek kreatif, belum mengangap serius potensi film sebagai soft power diplomacy di kancah internasional. Selain itu mengapa tidak ada kolaborasi dan integrasi program yang serius dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia? Ini masih menjadi pertanyaan besar yang belum ada jawabnya.
Ketiga, lemahnya jejaring dan kolaboratif setiap unsur dalam industri film kita. Masih berkaitan dengan aspek peran pemerintah. Pemerintah kita belum mampu menaungi semua stakeholder untuk duduk bersama dan melakukan kerja nyata untuk kemajuan film Indonesia. Termasuk merangkul konglomerat Indonesia untuk mendukung film kita. Hal ini berbeda dengan Korea Selatan yang industri filmnya terus tumbuh pesat, salah satunya dikarenakan konsitensi dan kontinuitas dukungan sejumlah chaebol (pebisnis konglomerat yang menjadi kekuatan ekonomi Korsel) hingga kini.