Penyebaran virus Covid-19 kian hari kian meningkat. Hal ini tidak hanya berimbas pada kegiatan perekonomian dan kesehatan saja yang menimbulkan adanya physical dan social distancing namun juga berimbas pada kegiatan peribadatan seluruh umat beragama. Tidak terkecuali, umat Islam sendiri. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah para ulama pun telah mempertimbangkan dan mengeluarkan fatwa untuk tidak melaksanalan sholat berjamaah saat pandemi ini dengan diqiyaskan pada kisah Umar bin Khattab ketika hendak ke Negeri Syam dan ternyata wabah tha'un sedang melanda negeri tersebut.
Hal ini pun menimbulkan berbagai pendapat dari kalangan umat Muslim di Indonesia, Pertama, pendapat yang mengaitkannya dengan keimanan seseorang yakni dengan orang yang hanya takut dengan virus (corona) namun tidak takut dengan Allah SWT., mereka pun meng-qiyaskan hal ini dengan kedatangan dajjal dan hari akhir, dimana umat Muslim dibuat bingung antara dua pilihan, yaitu pilihan buruk ketika ditampilkan surga oleh dajjal maka sebenarnya hal itu adalah neraka dan sebaliknya ketika ditampikan neraka sebenarnya itu adalah surga. Kedua, pendapat yang mengaitkannya bahwa virus corona akan membahayakan jiwa sehingga kelompok ini mengikuti maklumat MUI dan anjuran pemerintah untuk mencegah terjadinya penyebaran virus corona dengan melakukan physical dan social distancing (dirumah saja) termasuk dalam melakukan peribadatan.
Pada dasarnya Majelis Ulama Indonesia pada hal ini berijtihad dengan keilmuan yang merumuskan sebuah fatwa ulama yang disandarkan pada beberapa hal ihwal sepeti, hadis nabi, kisah sahabat terdahulu, qaidah fiqhiyah, maqashid syari'ah dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kurang arif jika sebagai orang awam untuk menjustifikasi hasil keputusan MUI apalagi jika memiliki keinginan fatwa sendiri yang tidak berdasarkan apa yang sudah ditentukan Allah SWT.
Dalam hal ini jika dikulik sedikit mengenai fatwa yakni terdapat sebuah kaidah dar'ul mafashid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (menjauhi kemudharatan lebih utama daripada mengejar kemanfaatan) maksudnya dalam hal ini adalah memutus rantai dan menjauhi virus Covid-19 lebih utama dari mengerjakan syariat lain Allah Swt., dengan cara berkumpul seperti sholat berjamaah. Pada prinsip maqashid syari'ah mengandung hifzh nafs (menjaga jiwa) maksudnya adalah dengan kita mencegah terjadinya penyebaran virus Covid-19 maka akan timbulnya sebuah makna hifzh nafs. Hal ini pun senada dengan ungkapan al-wiqayah khairu minal 'ilaj (mencegah lebih baik dari pada mengobati).
Seorang jika berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad namun salah, maka hanya mendapat satu pahala. Berdasarkan hadis tersebut menunjukkan bahwa jika ia sudah berusaha berijtihad dengan segala keilmuan dan usahanya ia akan tetap mendapatkan pahala walaupun salah. Oleh karena itu, tidak bijak jika kita mengomentari (judge) hasil ijtihad keilmuan para ulama tanpa didasari keseimbangan ilmu yang kita miliki.
Ulama mazhab pun ketika terjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) tidak menjustifikasi orangnya, namun mengomentari pendapat itu dengan pendapatnya sendiri dengan hujjah yang ia dapatkan. Imam Syafi'i pun berpendapat mengenai hal tersebut, qauli shawbun wa yahtamilu al-khata wa qaulu ghairi khata'un yahtamilu al-shawab, yang artinya “pendapatku benar tapi mengandung kemungkinan salah, pendapat selain aku salah tapi bisa jadi benar.” Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat. Sebagaimana hadis yang berbunyi, ikhtilafu ummati rahmatun yang artinya perbedaan pendapaat di kalangan umatku adalah rahmat.
Pemaknaan analogi (qiyas) antara pasar dan masjid terdapat sebuah pendapat yang menyatakan mengenai kedua hal tsersebut. Dalam hal ini ada empat alasan bahwa antara pasar dan masjid adalah sebuah perbandingan yang tidak nyambung atau apple to apple. Hal ini didasari pertama, masjid adalah tempat yang mulia yang disukai Allah sedangkan pasar adalah tempat yang tidak disukai oleh Allah Swt., pada hal tersebut sangat jelas bahwa masjid adalah tempat turunnya rahmat Allah dan para malaikat sedangkan pasar adalah tempat berkumpulnya maksiat dan kefasikan (kecuali yang dirahmati Allah). Kedua, masjid ada pengganti sedangkan pasar tidak. Maksudnya adalah melaksanakan sholat bisa dimanapun asalkan tempatnya suci, seperti hadis nabi yang artinya, “Seluruh bumi telah dijadikan tempat sujud (masjid) untukku, dan sarana bersuci).” Sementara pasar tidak sefleksibel tempat sholat, pasar tidak bisa digantikan. Sedangkan masyarakat memiliki kebutuhan pokok yang hanya bisa didapatkan di pasar seperti, sayur-sayuran, beras dan makanan pokok lainnya. Sehingga meski masjid ditutup karena alasan pencegahan corona, ibadah sholat tetap bisa dilaksanakan di rumah. Adapun jika pasar, toko, apotek dan warung ditutup maka kebutuhan makanan dan kesehatan tidak dapat terpenuhi, padahal menjaga nyawa juga merupakan kewajiban. Artinya, menjaga jiwa adalah wajib hukumnya sebab ini adalah bagian dari maqashid syari’ah yakni hifzh nafs.
Ketiga, perkumpulan massa di masjid sifatnya berulang setiap hari sementara di pasar tidak. Di masjid kita berkumpul dengan jama’ah lainnya setiap hari, bahkan sehari lima kali yang walaupun waktunya tidak lama. Sementara orang belanja ke pasar tidak setiap hari, cukup sepekan sekali atau dua pekan sekali atau sebulan sekali. Keempat, physical distancing susah dilakukan di masjid, sementara di pasar lebih mudah walaupun sudah ada beberapa masjid yang menerapkan sholat diberi jarak kurang lebih satu meter. Akan tetapi, di masjid kita dianjurkan untuk merapatkan shaf, atau setidaknya berdekatan. Hal ini karena WHO merekomendasikan untuk menjaga jarak fisik sekurangnya satu meter untuk mencegah terjadinya penyebaran virus Covid-19.
Virus Covid-19 ini merupakan sebuah ujian dan cobaan bagi umat muslim agar selalu bersyukur dan bersabar atas apa yang diberikan oleh Allah Swt., karena hanya kepada-Nya lah kita kembali. Sebagaimana firman-Nya QS. al-Anbiya (21): 35.
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Artinya: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.”
Semoga kita senantiasa bisa bersabar atas apa yang Allah berikan kepada kita dan senantiasa bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada kita agar kita dapat berpikir hikmah dibalik terjadinya wabah Covid-19 ini.
Namun, rahmat Allah sangatlah luas mencakup seluruh makhluk-Nya yang bertakwa dikarenakan itu merupakan sifat bawaan-Nya, sedangkan murka-Nya tergantung kepada kedurhakaan makhluk-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah QS. al-A’raf (7): 156.
قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاءُ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ
Artinya: “Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.”
Semoga dengan adanya wabah ini menjadikan kita insan yang lebih bersabar, bersyukur, dan bertakwa lagi kepada Allah Swt. Serta semoga wabah ini segera diangkat dari bumi kita nusantara dan dunia.