Mohon tunggu...
Dipuraayu
Dipuraayu Mohon Tunggu... Guru - Primary Teacher

Betapa berharganya setiap detik kehidupan. Belajar, Berkarya, Berdzikir!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Dosa dan Ketaatan

11 April 2024   18:25 Diperbarui: 12 April 2024   10:39 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cahaya remang bulan berpendar lembut di langit. Dini hari menjelang. Hewan-hewan malam yang terjaga dari tidurnya masih berkeliaran. Terdengar suara-suara gemerisik juga serangga yang berdesis di semak-semak. Entah mencari makanan atau sekadar menikmati keindahan alam yang penuh misteri dan kesyahduan.
Di sepanjang jalan setapak yang sepi, hanya terdengar suara langkah kaki ringan dari seorang imam masjid yang tengah melintas dengan hati-hati. Menjadi serangkaian melodi yang lembut, menambah kesunyian yang mendalam. Sedangkan para santri nampaknya masih terlelap dalam mimpi mereka yang manis.
Keramaian pesantren dimulai, sesaat setelah sholawat dan tadarus Al-Quran mulai mengalun merdu dari arah mesjid. Langkah dan gerakan santri satu demi satu akan menghangatkan. Suara gemericik air suci yang mengalir. Hembusan nafas yang tenggelam pada bacaan di halaman-halaman kitab suci, sementara pikiran melayang jauh, merenungkan makna-maknanya yang tersembunyi. Suara canda tawa terdengar lembut di udara. Tercipta ikatan persaudaraan yang erat, yang dengan penuh harap membawa mereka lebih dekat pada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian hingga matahari pagi dengan lembut menyinari wajah-wajah mereka yang khusyuk dan bercahaya.
Di sisi lain bumi Tuhan, terjadi situasi yang jauh berkontradiksi. Azan subuh telah beberapa jam lalu berkumandang. Sinar matahari memaksa masuk melalui jendela, namun persetan dengan kamar-kamar kos yang tirai jendelanya tak terbuka. Di bawah mubazirnya terang lampu neon, manusia-manusia itu masih sibuk dalam mimpi mereka. Tidak ada satu pun yang sadar, hiruk pikuk begadang membuat mereka kesulitan untuk bisa bangun dengan penuh kerelaan.
Pertempuran epik telah terjadi. Di sebuah kamar yang berisi mahasiswa semester empat dan temannya itu, alarm berbunyi setiap sepuluh menit sekali. Alarm pertama bak bunyi seruling malaikat yang lembut, hanya ingin menyampaikan salam pagi. Mereka berguling-guling ringan di atas tempat tidur, menenggelamkan diri lagi dalam tumpukan selimut.
"Ah, sepuluh menit lagi," gumam mahasiswa itu yang bernama Dara dengan suaranya yang lembut, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.
Alarm kesekian kali terdengar. Tak ada reaksi yang berarti Baik dari Dara maupun temannya. Alarm itu sangat tangguh, bersuara semakin keras, bergema di seluruh ruangan persegi seperti suara dentuman guntur yang mengguncang bumi.
Dara menggeliat malas, mencoba menjangkau alarm dengan satu tangan sambil menarik selimut dengan tangan yang lain. Namun, alarm itu terlalu cerdik, terus bergerak menjauh tiap kali didekati.
"Arrgh! Gila. Berhenti, kau alarm!" teriak Dara, mulai merasa frustrasi dengan alarmnya yang tak tergoyahkan.
Sesaat kemudian, semua ketenangan dan kedamaian itu tiada lagi tersisa. Ketika tiba-tiba suara ketukan pintu menambah kesemarakan pagi.
Tok… tok… tok…
Buk.. buk.. buk..
Dor.. dor.. dor….
Penuh perhitungan dan sistematis. Sepertinya siapapun di luar lebih frustasi dibandingkan Dara. Bahkan seekor cicak akan dibuat melompat terkejut karenanya. Mereka beranjak dengan cepat seraya menggosok-gosokkan mata, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
"Siapa? Ada apa?" tanya Sinta teman Dara yang ikut menginap dengan suaranya yang serak. Sekaligus menjadi kalimat pertamanya hari ini.
Tidak ada jawaban, namun Sinta telah melihatnya dari jendela. Orang yang mengetuk tiada lain adalah teman mereka Sumarni Dewi, yang sesaat sedang mengecek sesuatu di handphonenya. Pintu terbuka. Seraya semburan cahaya yang akhirnya masuk, kebisingan berlanjut.
"Guys, siap-siap! Udah telat kita! Musti berangkat!" seru Marni dalam kepanikan.
Sementara Marni tergesa-gesa dan menjelaskan, Dara dan Sinta kembali duduk masih berusaha mengumpulkan segenap kesadaran. Namun, kesadaran seketika penuh ketika mengetahui bahwa Kak Budi yang mengantar keberangkatan mereka akan segera sampai.
“Kak Budi katanya nelpon kalian juga beberapa kali buat ngasih tau.” Jelas Marni.
“Serius Mar? Aku kira alarm jam segitu.” Ucap Dara.
“Hp gue mati lagi” Keluh Sinta melihat hp nya yang damai.
Dalam kepanikan dan tumpukkan barang di segala sudut, mereka begerak kalang kabut. Dara tidak memerlukan waktu lama di kamar mandi, berpakaian rapi dan menutup rambutnya yang kusut dengan selapis hijab. Sinta akhirnya keluar kosan dengan napas terengah-engah dan make-upnya yang belum selesai.
"Sudah siap, guys? Kak Budi nunggu, udah abis semangkok bubur sama teh manis katanya di depan." Ujar Dara yang baru saja menelpon balik Missed Call di Hp nya.
"Ini seriusan berangkat? Gak siap banget gue…" Jawab Sinta seraya mengecek-ngecek bawaan di tas jinjingnya.
Setelah kekacauan yang tak terelakkan, akhirnya mereka melangkah dengan berat hati menjauhi kosan. Entah bagaimana mahasiswa seperti mereka akhirnya memutuskan pergi untuk mengikuti Pesantren Ramadhan, jauh di pelosok pedesaan.
Dari riuhnya kota Depok mereka dengan niat yang bulat pergi menuju sebuah pesantren di pedesaan Garut. Tempat dimana mereka berharap bisa menikmati alam dan tentunya menemukan nilai-nilai spiritual.
Selain itu di lubuk hati, juga karena Dara sebenarnya tidak ingin pulang ke rumah di waktu libur kuliahnya semester ini. Kebetulan sahabatnya Marni sudah berencana ikut, karena Garut juga adalah kampung halamannya. Diajaklah Sinta anak Jakarta yang masih setengah hati. Dara sendiri berasal dari Bandung. Mereka menjadi sangat akrab karena dipertemukan di jurusan dan area kosan yang sama.
Adapun Kak Budi bagi mereka adalah seorang kakak tingkat yang baik hati. Satu departemen dengan Marni. Setelah mendengar obrolan Dara dan Marni di sela-sela rapat organisasi. Ia menawarkan dirinya untuk mengantar. Ia juga bukan anak kosan seperti mereka. Rumahnya hanya beberapa menit dari kampus. Mereka sudah sangat kenal bahkan dengan keluarganya karena kerap diundang sembari menyusun projek organisasi.
“Aduh, maapin gue ya. Tiba-tiba tar sore harus pergi lagi. Kumpul-kumpul biasa sebelum besok puasa.” Terang Kak Budi memberikan alasan ketiba-tibaannya.
Tiga mahasiswi itu serentak menjawab, tentu bukan maslasah. Justru merasa dimudahkan dan bersyukur dengan kebaikan katingnya itu. Mereka mengobrol panjang lebar tentang hal-hal lain, namun kejadian pagi yang memalukan telah disepakati untuk menjadi rahasia.
Matahari bergerak di ufuk barat. Meninggalkan jalanan yang sibuk dan bangunan-bangunan tinggi di belakang mereka. Menuju jalan yang sepi. Menuju hamparan hijau membentang di kiri dan kanan. Dara melihat burung kecil terbang di atas ladang dan sawah, pepohonan rindang, sesekali terlewati sungai-sungai kecil yang mengalir tenang. Lebih jauh lagi, pegunungan menjulang tinggi berlatar belakang langit cerah dan awan-awan putih.
Hingga akhirnya mobil berbelok melewati gerbang bertuliskan selamat datang. Tanda mereka telah memasuki area pesantren yang menjadi tujuan.
“Selamat menikmati aktivitas kalian di sini, sehat-sehat. Berkabar aja ya kalo perlu gue!” Itulah kalimat terakhir Kak Budi dalam pamitnya.
Sesaat setelah tiba ketiga mahasiswa itu kemudian diantar ke kediaman Kiyai Mustafa selaku pemimpin pesantren untuk ijin sekaligus memperkenalkan diri. Mereka disambut dengan hangat dan penuh keterbukaan. Sudah beberapa tahun pesantren itu kerap kedatangan anak santri baru. Namun khusus mengikuti program pesantren ramadhan dengan jumlah yang dibatasi. Menurut Marni program di pesantren itu seperti tempat penyembuhan batin dan akan memberikan banyak kesan yang mendalam, walaupun dia sendiri masih belum benar-benar memahami ucapannya sendiri. Terakhir kali ia nyantri di pesantren ialah saat ia masih sekolah Dasar.
Dara begitu bahagia setelah akhirnya menemukan kamar atau kobongnya untuk merebahkan diri. Mereka bertiga juga tidak dipisahkan dan tanpa ada santri lain.
Malamnya setelah shalat tarawih berjamaah, Kiayi Mus memberikan sedikit nasihat untuk semua santri, agar senantiasa menjaga niat selama di pesantren. Namun dengan datangnya ke majlis ilmu, pun sudah menjadi bukti dan hal baik yang patut dihargai.
“Waktu, berapa pun panjang dan pendeknya sama sama tidak kekal. Jadi selama kalian di sini, jadikanlah cerita, ukir menjadi kenangan yang berkesan.” Tambah Kiayi Mus mengingatkan.
Dara merasa semua kalimat Kiayi Mus itu perlu ia tulis untuk dapat dibaca kembali suatu saat sebagai pengingat baginya menjalani kehidupan.
Setelah mengetahui jadwal kegiatan rutin mereka dalam sehari semalam, Dara pikir akan mudah. Namun mengubah kebiasaan tidurnya itu ternyata agak menyulitkan di hari-hari minggu pertama, begitu pula kedua temannya. Hal itu berakibat pada urutan antri mandi mereka, pengambilan makan, ketepatan waktu setor hapalan dan lain sebagainya. Pernah suatu pagi hal yang sama seperti di kamar kos mereka terjadi. Namun kali ini, Teh Asri seorang santri senior selalu dengan senang hati menggedor pintu kobong mereka jika belum nampak tanda-tanda, jika ternyata setelah beberapa kali menyapa namun tak ada sekecitpun suara.
Tiba hari dimana Dara dan Sinta melakukan lagi tugas piket di pesantren. Tak seperti hari lain, hari piket adalah hari dimana mereka bisa mengirup harum dari rempah-rempah dan bumbu-bumbu, mencicipi dan membantu memasak hidangan lezat Umi Eni, sang koki pesantren. Biasanya sembari mereka memotong sayur atau mencuci piring, kerap terdengar cerita-cerita hangat dan menarik dari Umi Eni maupun santri lainnya yang belm mereka dengar sebelumnya. Tentang penampakan, tentang kesolehan Kiayi Mus yang katanya pernah mendapat malam lailatul qadar, tentang kasus kenakalan dan pencurian di antara santri dan lain sebagainya.
“Eneng-eneng, udah tahu belum?” Begitulah suara Umi Eni memecah keheningan dini hari, ketika hanya ada suara gemericik air, suara gesekan alat masak, dan suara alam yang berserah. Menghangatkan kesibukan dapur yang teratur dan memenuhinya dengan rasa penasaran juga tawa canda.
Tersiarlah kabar, Yusuf Rihzan Arifin akan pulang. Ialah cucu dari Kiayi Mus yang sudah beberapa tahun belajar di Mesir. Semenjak kecil, ia sudah sering berpidato di tiap kegiatan pesantren. Ia banyak dikenal orang terutama para santri. Mereka terkesan dengan perilaku danhafalan kitab sucinya. Kabar akan kehadiran Yusuf menciptakan antusiasme dan keingintahuan siapapun. Terutama Sinta, ia tak henti-hentinya mencari informasi tentang Yusuf. Sinta menjadi sangat penasaran terutama dengan parasnya, semua sumber berkata bahwa Yusuf adalah pemuda yang tampan dan menawan. Mendengarnya, Dara hanya tertawa, mengingatkannya pada Kisah Nabi Yusuf as akan ketampanannya yang memikat Zulaikha dan mengiris jari para tamunya.
“Sin, di Zaman sekarang, jangan berekpektasi. Percaya deh.” Ucap Dara.
“Iya, jaga pandangan” tambah Marni, yang juga belum mengenal tokoh bernama Yusuf itu.
Dara lebih tertarik pada Kiayi Mus. Setiap Ceramah Kiayi Mus selalu bisa membuat Dara merasakan ada ruang di hatinya yang menghangat. Menghapus sedikit demi sedikit kegelapan yang bersemayam.
“Mari renungi lagi. Sadarilah setiap kesombongan tidak ada artinya. Kita ini makhluk yang lemah. Kekuatan yang sesungguhnya harus dicari dari Allah. Bawa hati ke tingkat ketentraman. Tiada makhluk yang mengakibatkan kebaikan maupun keburukan. Semoga semua yang kita lakukan mendekatkan kita pada Allah.” Ujar Kiayi Mus dalam nasihatnya.
Dalam shalat malamnya, Dara kini selalu meminta maaf pada Tuhan. Pada keluarganya. Pada Ayah dan Ibunya. Ia yang akhir-akhir ini menganggap orang tuanya bersikap tidak adil, menyalahgunakan emosional dan verbal, membuat segala ketidakstabilan dan kekecewaan pada hidupnya. Ia memutuskan untuk bersikap moderat saja. Sebelum segalanya hancur dan terlambat. Karena dibalik kegelapannya, ia tahu alasan sebenarnya adalah karena rasa kasih sayang yang teramat dalam pada mereka.
Suatu pagi, Dara, Sinta dan Marni memutuskan untuk mandi bersama saja. Tentunya beralasan, karena mereka mendapat giliran antri terakhir sedangan pengajian dimulai sebentar lagi. Selain itu, karena kamar mandi dibuat memanjang dengan air yang mengalir di setiap sisinya sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dara dengan tergesa-gesa mencuci sepotong pakaian dan kerudungnya yang harus kering untuk pesediaan esok hari. Sementara di luar sangat sepi, hanya sebungkus plastik putih terapung-terapung kesana kemari. Marni bahkan menyarankan agar tidak melakukan apa-apa lagi dan bergegas pergi.
Sementara Sinta dan Marni langsung ke tempat mengaji, Dara berbelok sebentar ke belakang kobong untuk menggantung pakaian basahnya dan menyusul.
Bukannya di tempatnya mengaji, Dara malah melihat kerumunan santri di depan gerbang persis tempat ia menginjakkan kaki pertama kali. Sinta dan Marni melebur tak terlihat. Dara mendekat mencari mereka. Nampak sebuah mobil hitam yang baru saja mematikan mesinnya. Dalam beberapa detik Dara menyedari satu hal. Yusuf.
Seseorang keluar dari samping kursi supir. Langkahnya mantap, penampilannya benar-benar memikat. Kehadirannya memancarkan aura, matanya bersinar dan senyumnya bisa menyentuh hati siapapun.
“Yusuf. Seyusuf-yusufnya” kekeh Dara dalam kegilaannya yang memalukan.
Semua santri langsung berjejer rapi di pinggir kiri kanan memberikan jalan dan salam, bak digelar karpet merah dalam sebuah perhelatan. Dara masih mematung dengan mulutnya yang tanpa disadari sedikit menganga, untung saja seekor lalat masih enggan hinggap di dalamnya.
Penampilannya sederhana. Kemeja putih yang longgar dan nyaman dengan bordiran sederhana serta celana panjang berwarna gelap, seperti hitam atau cokelat tua. Beberapa kali dilengkapi dengan peci yang bisa-bisanya tampak anggun di atas kepala.
Berhari-hari, semua santri diam-diam masih mebicarakan Yusuf. Dara merasa ini berbahaya. Bagaimana bisa ujian berat ini muncul, tepat di waktu perburuannya mendapat malam seribu bulan. Ia berusaha mensugesti pikirannya untuk bersikap biasa-biasa saja dan kembali fokus pada tujuannya semula.
Ternyata setan amat buruk pengaruhnya. Walaupun mereka semua dibelenggu. Manusia tetap bernaluri melakukan dosa. Di acara amal yang Dara, Sinta dan marni gagas. Dara hampir melupakan prinsipnya. Ia diarahkan oleh Kiayi untuk mengkomunikasikannya pada Aa Yusuf karena dirasa lebih paham dan aktif membantu.
Jauh-jauh hari di awal ramadhan Dara, Sinta dan Marni bekerja sama dengan BEM Kampusnya telah melakukan open donasi. Dara menjelaskan telah terkumpul cukup banyak rezeki yang bisa dibagikan. Sasarannya anak yatim piatu dan duafa di lingkungan sekitar pesantren. A Yusuf langsung menyetujui dengan senang hati. Ia bahkan memberikan saran waktu dan nama-nama pengisi acara. Dara mencermati, Marni tak mampu menatap dan Sinta dibuat mematung tak berkedip menyaksikannya. Meleleh… ya, mereka dibuat meleleh.
Di hari lain, sebuah topik hangat muncul. Istilah Solo Bivak kerap terdengar dalam semua pembicaraan. Semua diliputi rasa horor dan mencekam tanpa kejelasan. Hingga diumumkan secara resmi oleh Pak Ustad dan para santri harus bersiap-siap.
“Nanti di antara kalian akan ada yang dipilih menjadi mayat” ceplos Teh Asri seraya melewati kobong dimana Dara, Sinta dan Marni sedang melihat-lihat catatan keperluan mereka. Meninggalkan keambiguan yang mengerikan.
Ada hutan sekitar 3 kilometer di atas pesantren. Setelah berkumpul di tenda utama, para santri akan mendirikan perkemahan tunggal di setiap 10 meter pada titik-titik yang sudah ditandai. Sinta mendapat urutan pertama mendirikan bivaknya, berlokasi di awal jalur. Marni di urutan ke 5 yang mulai dipenuhi rumput liar yang tinggi dan tanah yang agak kurang rata. Naasnya Dara diurutan kedua belas, ia di ujung entah akan ada hewan liar sebesar apa yang menantinya, bahkan jalur masuknya pun samar-samar dalam ingatannya.
Para santri diingatkan untuk tidak mengobrol dengan orang yang mungkin nanti malam ditemuinya. Ada kata khusus terlebih dahulu sebagai kode, jika tidak menjawab maka mereka bukanlah dari alam yang sama. Semua merinding dibuatnya.
Dara sudah terbiasa dengan kesendirian dan keheningan. Ia anak kedua. Kakaknya di pesantren. Ayah dan Ibu kerap pergi bekerja hingga matahari terbenam, bahkan dinas keluar kota. Bahkan di awal pengalaman kuliahnya, selain mengalami mimpi buruk, ia kerap ditinggalkan oleh teman-temannya yang pulang duluan semasa liburan. Solo Bivak bukan berarti ia sendirian di hutan. Dan pada dasarnya dimanapun dirinya, Tuhan adalah pencipta yang akan selalu menemaninya. Bagi Dara ini hanya menambah pengalamannya mengatasi ketakutan yang fana.
Larut malam, di sisi lain hutan, Yusuf baru saja menyalakan senternya. Yusuf mengingat betul bagaimana rasanya menjadi peserta solo bivak. Semua yang terlewati terasa lebih mudah seiring waktu berlalu. Ia berkeliling melihat situasi malam dengan keindahan alamnya yang magis. Terasa sungguh kesyahduan. Semua makluk menunduk dan berdzikir pada Tuhannya. Malam ini terang, mempermudahnya melihat santri. Dari kejauhan tampak satu demi satu mulai memasuki bivak dan mematikan penerangannya masing-masing.
Setelah beberapa menit di kedua kalinya Yusuf berkeliling, tiba-tiba terlihat sekelebat cahaya di kejauhan. Ia mendekat melewati semak-semak dan pohon-pohon yang tinggi. Semakin mendekat, kilaunya semakin cerah dan memikat. Sekitar tujuh meter dari sumber cahaya, dia terdiam kagum. Ada energi yang kuat memancar dan mengisi hatinya dengan keajaiban yang tak terlukiskan. Hingga hanya dalam hitungan detik saja menghilang. Ia tertegun. Yang tersisa hanyalah tenda kecil seorang santri bernomor urut dua belas dengan sumber cahaya yang samar-samar.
Malam tampak lebih terang menampakkan banyak bintang. Angin sejuk berhembus. Yusuf segera kembali ke tenda utama dan memanjatkan doa.
Beberapa hari yang lalu, semenjak perbincangannya dengan Dara terkait kegiatan amal, Yusuf sebenarnya kagum pada Dara. Pada sikap dan cara bicaranya, pada kemampuannya mengatur kegiatan, pada senyum dan kehangatannya bersama anak-anak. Yusuf menjadi lebih sadar dengan kehadiran Dara dan diam-diam mulai memperhatikan. Ketika berpapasan di jalan setapak mesjid, ketika Yusuf berceramah di mesjid dan Dara yang selalu mengajukan pertanyaan padanya. Ketika sahur dan berbuka. Bahkan ketika berpapasan di pasar desa untuk membeli beberapa keperluan dan lain sebagainya.
Fajar menjelang. Waktunya kembali ke Pesantren. Di tenda utama saat cek kehadiran, Dara dikabarkan menghilang. Kemungkinan terpisah dari barisan dan tertinggal.
Yusuf yang merasa aneh semenjak tadi bergegas pergi menuju titik tenda Dara. Benar saja, Dara tengah terduduk bersandarkan pohon besar di jalur yang berbeda. Ia sedikit pusing, tertinggal dan salah dalam belokan keduannya.
“Dara! Alhamdulillah kamu gak apa-apa?” ujar Yusuf lega.
Dara dengan sigap berdiri dan terkekeh sendiri. Entah kenapa suaranya ketika menjawab sedikit aneh. Bisa-bisanya Dara ingin suaranya terdengar lembut. Dalam hati Ia senang orang yang menemukannya adalah Yusuf. Pun tetap memesona dengan balutan pakaian outdoornya.
Saat itu, tak sengaja mata mereka bertemu. Ada kelembutan yang terpancar dari tatapan mereka, seperti dua magnet yang saling menarik satu sama lain. Mata mereka mengungkapkan kehangatan, rasa simpati, dan keinginan yang terpendam, namun tetap berusaha untuk menyembunyikan perasaan yang lebih dalam.
Dara mengikuti Yusuf yang memandunya kembali ke tenda utama. Keduanya menjadi tampak canggung. Hingga akhirnya bertemu Teh Asri, pak ustadz dan kedua temannya di pertengahan jalan.
Dara dan Yusuf memiliki keinginan untuk lebih dekat satu sama lain, namun tak terucap. Bukan waktu dan cara yang tepat. Bisakah seseorang mencintai seseorang seperti itu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun