Ariani adalah pedagang daging yang menjajakan dagangannya pada jam 4 subuh.
Ariani berusia 41 tahun, belum menikah, pekerja keras dan selalu membuat orang tersenyum jika sedang mengobrol dengannya. Ia di kalangan pedagang terkenal sebagai wanita yang ramah.Â
Tak ada satu pun orang yang mencibir karena kesendiriannya. Seorang Ariani tak baik hanya dimiliki oleh satu manusia. Ia bagi lingkungannya terlahir untuk membuat orang-orang di sekelilingnya cerah bergelora.
Suatu ketika ada seorang pelanggan yang mulai menarik perhatiannya. Setelah Ariani perhatikan, ia datang berbelanja pada hari Senin, Rabu dan Jumat.Â
Dia adalah seorang pria paruh baya, selalu datang ke lapak Ariani dengan menggunakan celana sedengkul dengan jaket jins biru yang sudah mulai belel. Meski demikian, dia selalu hadir dengan wajah yang segar dan sesekali mengeluarkan aroma parfum masjid Nabawi ketika mendekat ke lapak Ariani.
Pria itu selalu membeli 4 kilogram daging has dalam. Ia tak pernah membeli daging lainnya atau daging yang serupa dengan melebihkan atau mengurangi jumlah timbangan. Dengan kebiasannya seperti itu dan logat Minangnya yang masih kental, Ariani yakin ia berprofesi sebagai juru masak di sebuah rumah makan.
Untuk menguji dugaannya itu, pada hari Senin Ariani membesarkan nyali untuk menanyakan langsung kepada pelanggan yang selalu membuatnya bertanya-tanya.Â
Tidak seperti biasanya, Ariani kala itu mengenakan kaos favoritnya yang biasa ia kenakan untuk pulang ke kampung halaman, dan rok bermotif bunga yang jarang ia pakai. Ariani tidak menghiasi wajahnya dengan lipstik atau bedak, tetapi kali ini ia menyemprot wewangian beraroma mawar yang ia beli di hari sebelumnya.
"Pagi, mbak, seperti biasa ya."
"Siap, bang."
"Tidak mau beli yang lain, bang?" tanya Ariani berbasa-basi.