Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua atau tepatnya pada tahun 2011 silam, Presiden SBY menanda tangangi Peraturan Presiden nomor nomor 32 tahun 2011 tentang MP3EI. Perpres itu kemudian dijadikan sebagai sebagai strategis bagi pemerintah guna melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia selama lima belas tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025. MP3Ei itu kemudian juga dijadkan acuan dalam pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dan melengkapi dokumen perencanaan yang sudah ada.
Namun apa daya, ganti Presiden, berganti pulalah aturan dan cara kerja. Tidak hanya itu ibarat sebuah kapal, ganti nakhoda, berganti pula haluan kapal. Sehingga pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, meski disebutkan hanay mengganti istilah MP3EI karena dianggap politis, namun arah dan kebijakan pembangunan nasional tidak sama dengan dokumen yang sudah ditetapkan itu.
Dalam suatu kesempatan berpidato di hadapan para ekonomin dan teknokrat di Jakarta pada tahun 2014 silam, Jokowi mengatakan, ada perbedaan orientasi antara MP3EI dan perspektif pembangunan yang dilakukan pada pemerintahannya bersama Jusuf Kalla.
Perbedaan orientasi itulah yang membuat ia enggan atau dalam kata lain tidak terlalu serius menjalankan program kerja yang sudah ditetapkan itu. Sebagaimana kita tahu, Jokowi ingin orientasi kerja dan capaian pemerintahannya adalah pada sektor pertanian, kedaulatan pangan, dan infrastruktur. Bahkan untuk mencapai kedaulatan pangan, Jokowi menyebutkan ia akan banyak membangun sistem irigasi, mencetak lahan-lahan pertanian baru, menyubsidi pupuk, dan sebagainya.
Memang tidak semua rencana kerja atau dokumen arah pembangunan nasional itu yang dirubah oleh Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Namun nasib proyek yang sudah ditetapkan dalam rencana induk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) itu mengalami berbagai ketidakpastian. apalagi sejak kemarin, di hadapan media, Presiden Joko Widodo mengumumkan telah menetapkan dua daerah di Kalimantan Timur yaitu Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara sebagai dua daerah yang akan menjadi Ibukota Negara kelak sebagai pengganti DKI Jakarta.
Tidak tanggung tanggung pula, Menteri Bambang Brodjonegoro yang juga Kepala Bappenas sesumbar bahwa pada tahun 2024 nanti, semau aktifitas pemerintahan akan pindah ke Kaltim (Ibukota baru).
Kini, demam dam euforia pemindahan Ibukota tengah melanda masyarakat. Ada yang setuju dan menyambutnya dengan gegap gempita, namun disisi lain ada yang pesimis bahkan menolak. Alasannya pun bermacam, bagi yang berilmu, mereka memiliki argumen masing masing, baik dari sisi ekonomi, pemerataan pembangunan, hukum dan sistim ketata negaraan sampai yang asal komen dan mistis.
Terkait rencana dan keputusan pemindahan Ibukota negara itu, hal itu tentu tidak semudah yang dibayangkan. Memindahkan Ibukota sebuah negara yang sudah bertahun bahan berabad abad menjadi pusat dari segala aktifitas pemerintahan, bisnis dan politik jelas memerlukan kajian serius dan bukan sekedar mengundang tokoh dan ilmuan untuk didengar pendapatnya lalu diklasifikasikan seperti "mengonggok lado" semata. Karena yang dilakukan adalah memindahkan ibukota negara dan itu jelas berdampak pada keberlanjutan arah pembangunan bangsa selama beberapa tahun ke depan.
Kesalahan mengambil sebuah keputusan, bukan saja berdampak negatif buat generasi yang ada saat ini, namun juga terhadap generasi yang akan datang. Ide pemindahan Ibukota memang sudah pernah ada sejak jaman Presiden Soekarno, Soeharto bahkan SBY, namun pada masa pemerintahan presiden terdahulu itu, rencana ini hanay menjadi dokumen karena (mungkin) berat dan besarnya dampak yang akan timbul seandainya keputusan itu ditetapkan.
Ekonom Senior Prof. Emil Salim mengemukakan pandangannya bahwa usulan Bappenas yang dijadikan Presiden sebagai titik awal langkah pengambilan kebijakan Presiden RI Joko Widodo adalah usulan yang keliru. Emil menilai dampak dari ulasan Bapenas itu telah membuat Presiden mengambil langkah yang kurang tepat dan ia merasa kasian kepada Presiden.
Saya berpandangan, sekali lagi perdebatan terkait jadi atau tidak, bermanfaat atau nirmanfaatnya pemindahan ibukota negara ini belum menyentuh hal hal yang substantif dan esensial. Perdebatan malah berkisar diantara buzzer buzzer yang pro dan kontra. Tidak ada ada ide dan gagasan yang bertentangan. Menyedihkan memang.