Sepekan ini di media sosial marak dibahas tentang kotak suara berbahan karton yang akan digunakan pada Pilpres dan Pileg tahun depan. Ada yang pro, lalu ada pula yang kontra. Ada yang sekedar ikut ikutan pro dan kontra ada pula yang membahas lebih subtantif dan lebih rasional.
Kotak suara dari bahan karton ini memang memicu kontroversi meski berkali kali Komisi Pemilihan Umum mengklarifikasi bahwa bahan yang digunakan sudah bahan yang sangat kuat sudah sesuai ketentuan UU yang disahkan bersama.
Namun tetap saja netijen ribut dan kehebohan itu menjalar ke dunia nyata. Membahas Kotak suara yang akan digunakan pada Pemilu Tahun 2019 tentu bukan sekedar membahas soal bahan pembuat kotak saja. Tapi juga harus membahas soal keamanan dan segala tetek bengeknya.
Mengacu pada Undang -- Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pada Pasal 341 ayat 1 disebutkan perlengkapan pemungutan suara baik berupa Kotak Suara, Surat Suara, Tinta, Bilik Pemungutan Suara, Segel, Alat untuk Mencoblos pilihan, dan Tempat pemungutan Suara diatur dengan Peraturan KPU.
Sehingga sebagai tindak lanjut dari itu kotak suara ditetapkan terbuat dari bahan karton kedap air berbentuk kotak yang kokoh pada setiap sisinya, dengan ukuran panjang 40 (empat puluh) sentimeter, lebar 40 (empat puluh) sentimeter dan tinggi 60 (enam puluh) sentimeter, warna kotak itu putih.
Perdebatan tentu tidak selesai sampai disana. Meski keputusan pemakaian kotak suara berbahan kartun kedap air ini sudah disepakati dalam rapat rapat di DPR, tetap saja hal ini menjadi perbincangan. KPU dituding bermain mata dengan kelompok politik tertentu dengan tujuan untuk memenangkan calon tertentu pula. Pertanyaannya adalah kenapa KPU dan DPR menyepakati pemilihan bahan Kotak Suara dari Karton berbahan Duplex atau yang sering disebut "Kardus" ?.
KPU beralasan bahwa pemilihan bahan ini jauh lebih menghemat biaya karena lebih murah dibanding Kotak suara yang selama ini terbuat dari Alumunium. Sebagaimana diketahui pada Pilpeg dan Pilpres tahun 2004 silam, biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kotak suara mencapai Rp100.000. Ini belum termasuk biaya pengiriman. Jika mengacu pada harga tahun ini, maka bisa bisa harga per satu kotak suara berbahan alumunium mungkin mencapai sekitar 200 ribuan bahkan lebih.
Tentu hal ini akan menelan biaya yang tak sedikit. Sebab jutaan TPS harus disediakan kotak suaranya sebanyak empat suara. Jika diakumulasi maka setiap kotak suara akan menelan biaya sebesar Rp. 1 juta belum termasuk ongkos kirim.
Tapi lacurnya, bullyan dan cercaan itu tidak dijawab oleh KPU dengan taktis. Mereka cenderung membiarkan publik terjebak dalam perang kata kata tanpa data. Kalaupun ada pihak KPU yang menjelaskan hal itu tidak dilakukan secara masif dan diamplifikasi dengan maksimal.
Saya pribadi menilai kotak suara ini memang jauh lebih hemat dan efisien dibanding kotak suara dari bahan alumunium. Namun patut dipahami bahwa kondisi geografis serta faktor cuaca akan ikut mempersulit baik pendistribusian serta keamanan kotak suara itu kelak. Bayangkan dengan kondisi cuaca serta kondisi alam seperti saat ini, maka faktor keamanan harus dijadikan perhatian serius bagi pelaksana pemilu.
Tentu sudah pada tempat dan sewajarnya semua pihak untuk ikut cemas. Namun juga mereka ikut bertanggung jawab untuk mengamankannya. Akan tetapi, krisis kepercayaan terhadap pemimpin dan lembaga penyelenggara pemilu membuat masyarakat menjadi cemas tak kepalang. Apalagi tudingan bahwa adanya keberpihakan. Hal ini harus dibuktikan oleh KPU. Patut KPU mencatat bahwa kredibilitas lembaga negara akhir akhir ini sudah berada dititik terbawah bagi masyarakat. Bukan hanya kementrian dan KPU, namun lembaga sekelas KPK saja hari ini sudah tidak lagi begitu dipercaya.