Mohon tunggu...
Dipa Nugraha
Dipa Nugraha Mohon Tunggu... -

Dosen UMS, aktivis dialog lintas agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesan (bukan Balasan) atas "Surat Terbuka untuk Tasniem Fauzia" Karangan Dian Paramita

4 Juli 2014   02:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:35 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya pribadi terkagum-kagum kepada Dian Paramita yang mengingat hal-hal kecil -fragmen- pertemanan yang bukan karib dengan kakak kelas di waktu SMP sewaktu membaca 'Surat Terbuka untuk Tasniem Fauzia'. Dibutuhkan ingatan yang kuat untuk mengingat bagian-bagian kecil dari kenangan masa lalu. Sungguh mengagumkan dan saya bisa menyimpulkan bahwa Dian Paramita pastilah memiliki nilai ujian yang sangat tinggi terkait dengan pelajaran yang core-nya adalah hapalan.

Sebagai pengagum Tasniem yang luar biasa sehingga perasaan kagum menjadi berkeping-keping tatkala ada perbedaan pandangan politik maka saya penasaran apakah Dian Paramita (Selanjutnya saya panggil Mita. Karena saya merasa belum pernah mengenalnya untuk tahu persis nama panggilan yang pas maka saya gunakan nama panggilan Mita merujuk pada nama panggilan yang Dian Paramita akukan: Mimit = Mita) sebelumnya mengikuti Facebook dan Twitter Tasniem. Jika memang ia adalah pengagum berat sehingga seakan-akan hapal setiap fragmen bersama Tasniem pastilah wajar jikalau saya menyimpulkan bahwa Mita pernah menjadi follower media sosial Tasniem. Saya penasaran apakah kekecewaan yang dramatikal darinya membuatnya tidak mengikuti lagi Tasniem di media sosial. Entah apakah rasa penasaran ini akan terjawab!

Kekecewaan yang timbul dari perasaan terlalu kagum memang bisa menyesakkan. Itu saya pahami. Namun pada orang yang terlalu kagum secara normal tidak akan menarik diri dari perasaan kagum pada pukulan pertama. Mereka yang terluka karena dikecewakan oleh cinta yang terlalu, kagum yang terlalu pastilah akan menyangkal perselisihan komitmen mengenai sesuatu. Ada ketidakpercayaan bahwa itu terjadi. Ada perasaan ragu-ragu apakah yang dikagumi telah berubah dari kenangan yang telah terbangun. Pun ketika didapati ada perubahan pada sosok yang dikagumi, pastilah proses penyangkalan terjadi: "Tidak, ia bukan orang yang kuanggap dulu aku kenal". Respon yang terlalu cepat terhadap kenangan kekaguman yang telah bertahun-tahun terbina tidaklah kemudian dalam waktu kurang dalam seminggu menjadi pemicu kegetiran dan kekecewaan. Kecuali memang ada yang salah dengan rasa kagum itu.

Kesan saya atas pembacaan terhadap 'Surat Terbuka untuk Tasniem Fauzia' ini saya torehkan dengan mengikuti struktur yang Mita pakai. Saya mengikuti struktur tersebut agar kesan saya ini dapat runtut mengikuti alur teks surat karangan Mita. Mita sendiri membagi surat terbuka karangannya menjadi beberapa bagian setelah pada bagian awal suratnya ia menceritakan sebuah prolog mengenai kekagumannya terhadap Tasniem Fauzia yang hancur gara-gara berbeda pandangan politik. Selepas prolog itu, Mita memulainya dengan 'sumpah jabatan Jokowi' dan seterusnya dan seterusnya.

Sumpah Jabatan Jokowi

Berbicara mengenai sumpah jabatan Jokowi menjadi gubernur Jakarta dan janji kepada rakyat Jakarta yang menjadi sorotan kritis Mita kepada Tasniem mungkin harus dicermati sekali lagi oleh Mita kalimat yang dituliskan Tasniem di dalam surat terbukanya.

Ketika Mita hanya menyorot kepada teks sumpah saja di dalam pelantikan Jokowi menjadi Gubernur DKI maka Mita telah melupakan bagian dari kampanye Jokowi yang berjanji -bukan bersumpah- kepada masyarakat Jakarta untuk menyelesaikan [atau membereskan] kerjanya untuk 5 tahun masa periode menjabat.

Menurut saya agak naif jika mengartikan janji 5 tahun mengemban tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta sebagai sebuah janji akan membuat [segala aspek di] Jakarta beres. Mengenai janji Jokowi kepada masyarakat Jakarta dapat Mita saksikan lewat video yang diunggah di YouTube ini.

Saya justru malah bertanya-tanya apakah Mita benar-benar membaca surat terbuka Tasniem.

Saya mungkin bisa memahami bagaimana Mita kurang cermat surat terbuka Tasniem sebab ia hanya menggunakan waktu empat hari di dalam merenungkan kekecewaan yang ia yakini ia dapati dari seseorang yang memiliki pandangan politik berbeda dengannya untuk kemudian menuliskan surat terbuka sebagai jawaban terhadap surat terbuka Tasniem. Namun jika diminta untuk menyimpulkan, jujur, saya masih belum memahami kekecewaannya.

Mengenai konstruk pemahaman Mita akan sejarah Prabowo di dalam kasus penculikan 1998, terlihat bahwa Mita menyimpulkan kasus itu belum selesai sebab penanggung jawab utama pada kasus itu dan narasi mengenai kasus itu juga simpang siur. Adakah Mita sudah membaca berbagai versi yang beredar mengenai kasus penculikan 1998? Jikapun Mita belum membaca berbagai versi yang beredar mengenai kisah itu seyogyanya Mita mulai membaca tulisan Pius Lustrilanang ini, atau memperhatikan pemaparan dari Prayudhi Azwar ini, atau misalnya juga merujuk kepada penyataan presiden kita lewat juru bicara kepresidenan Julian Pasha lewat berita ini. Jika Mita juga belum lega dengan narasi yang beredar mengenai kasus penculikan 1998, apalagi mengenai 13 orang yang hilang belum kembali, Mita bisa saja membaca pernyataan Andi Arief yang merupakan seorang aktivis 1998 dan juga kehilangan kawannya Widji Thukul lewat tautan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun