Tahun 2024 adalah tahun politik bagi rakyat Indonesia. Di tahun ini, Indonesia menyelenggarakan Pesta Demokrasi kelima kalinya dalam dua dekade belakangan sejak 2004 sampai 2024. Setiap kegiatan pemilihan umum, memiliki warna dan ciri khas masing-masing. Hal ini yang juga terjadi di Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kemarin. Pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024 diwarnai oleh banyak kejadian dan kompetisi yang sengit antara tiga pasangan calon dengan tiga gabungan koalisi. Pasang Pertama dengan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang diusung oleh Koalisi Perubahan (Partai NasDem, PKB, dan PKS), pasangan kedua dengan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat), pasangan ketiga dengan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang diusung oleh Koalisi PDIP dan PPP).
HITAM PUTIH KOMPETISI
Dalam proses pendaftaran, banyak memicu perdebatan dan pertengkaran dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 yang mengatur bahwa calon dibawah 40 tahun dapat diusung sebagai calon dari partai koalisi dengan syarat pernah menjabat sebagai kepala daerah baik di tingkat I ataupun II yang dibacakan pada pertengahan Bulan Oktober 2023. Ditambah lagi adanya isu kepentingan dan relasi keluarga dalam Lembaga Yudikatif, Hakim Anwar Usman yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK adalah adik ipar dari Presiden Ketujuh Joko Widodo sekaligus Paman dari Calon Wakil Presiden nomor urut dua yang juga anak dari Presiden aktif yaitu Gibran. Kasus ini jelas memberikan kesan negatif karena dengan mengubah aturan beberapa bulan sebelum pemilu diselenggarakan dan langsung berlaku saat itu juga serta mempertanyakan independensi kekuasaan kehakiman di MK. Jika kita mengurai kekuasaan kehakiman, maka tidak lepas dari teori pembagian dan pemisahan kekuasaan yang dicetuskan oleh John Locke dengan pembagian kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Federatif, dimana kekuasaan kehakiman dibawah eksekutif. Kemudian dikembangkan oleh teori pemisahan kekuasaan Montesquieu yang memisahkan lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, bahwa kehakiman itu merupakan lembaga yang berdiri sendiri diluar legislatif dan eksekutif. Abu Daud (2001) dalam bukunya yang berjudul "Sistem Pemerintahan Republik Indonesia," Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti Legislatif dan Presiden serta memiliki hak untuk menguji yakni hak menguji formil (formele toetsingrecht) dan hak menguji meteril (materiele toetsingrecht).
CATUR POLITIK RAJA JAWA
Melihat proses regulasi yang cukup memiliki stigma negatif, tentu pemilu tidak lepas dari desus dinasti politik yang kuat. Walaupun Presiden Jokowi tidak memberikan pernyataan atau sikap langsung, tapi kecondongan-kecondongan keberpihakan kepada pasangan Prabowo-Gibran begitu jelas, contoh saja relasi kekeluargaan, politisasi bantuan sosial serta endorsement presiden Akibat dari kecondongan presiden, membuat beberapa civitas akademika universitas yang ada di Indonesia seperti UI, UGM, dan UIN Jakarta melakukan pernyataan keras terhadap presiden agar kembali ke jalan yang benar karena dianggap menyalahi norma netralitas sebagai kepala negara.
FENOMENA JOKOWISME
Uniknya dari pemilu 2024 adalah efek perilaku Presiden Jokowi yang memiliki dampak besar atau mempengaruhi pemilih dalam perolehan suara. Bagaimana tidak, presiden yang dianggap tidak netral yang mendapatkan serangan dan teguran keras dari beberapa kalangan demokratis dan dengan kecacatan prosedural, pasangan Prabowo-Gibran dapat meraup suara paling banyak diantara tiga pasang calon. Bahkan di beberapa wilayah yang memiliki potensi paling kecil bisa menyumbang suara cukup banyak untuk pasangan nomor urut dua tersebut, seperti Jawa Tengah dengan basis massa wilayah PDI Perjuangan, Prabowo-Gibran unggul di Jateng dengan perolehan 12.096.454 suara. Sementara Ganjar-Mahfud yang merupakan calon usungan PDI Perjuangan kalah dikandang sendiri menyusul dengan meraup 7.827.335 suara. Lalu di urutan terakhir, Anies-Muhaimin mendapat 2.866.373 suara (kompas.com). Fenomena ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia masih bergantung pada pemimpinnya, memilih berdasarkan tokoh politik yang terikat pada kepercayaan sosial bukan berdasarkan ideologi seperti di Amerika Serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H