Salah satu sasaran utama Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025 -2045 dalam mewujudkan Indonesia emas dengan visi 'Negara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan' di 2045 dilakukan dengan menurunkan intensitas emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk menuju Net Zero Emission (NZE) di 2060. Dilansir dari laman jikalahari.or.id (2024), Direktur Eksekutif Traction Energy Asia Tommy Pratama mengatakan bahwa "Indonesia setiap tahun menyumbang emisi GRK sebesar 1,3 Gigaton CO2e. Indonesia berada di urutan kedelapan dunia dalam emisi GRK, khususnya karbondioksida (CO2)." Hal ini bisa saja membuat Indonesia tidak akan dapat menjadi Indonesia emas 2045 dan NZE 2060 jikalau hal ini masih saja terus menerus berlangsung. Sehingga perlu adanya kesadaran dalam menilai dan menentukan sumber utama dari emisi GRK ini. Dilansir dari laman jikalahari.or.id (2024) menyatakan bahwasanya berdasarkan kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada 2022, sektor energi merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia dengan persentase sebesar 50,6% atau sebesar 1 Gigaton CO2e dari total emisi di Indonesia pada 2022. Sehingga saat ini perlu adanya transisi dari energi kotor ke energi rendah karbon dalam waktu dekat ini.
Mewujudkan energi bersih yang rendah karbon merupakan salah satu dari visi dan misi Indonesia dalam mencapai Indonesia emas 2045 dan NZE 2060. Dilansir dari laman www.antaranews.com (2024), Kepala Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cuk Supriyadi Ali Nandar mengatakan bahwa "Transisi energi harus dilakukan untuk memenuhi komitmen pemerintah dalam penurunan emisi dan target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat." Kondisi ini akan dapat dicapai salah satunya dengan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Dilansir dari laman tractionenergy.asia (2022), Dalam sebuah konferensi rangkaian Presidensi G20 Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa "Pengembangan biodiesel yang merupakan salah satu sumber EBT memiliki peran strategis dalam berbagai aspek pembangunan. Salah satunya, berkontribusi dalam aksi perubahan iklim Tanah Air." Dapat disimpulkan bahwasanya biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang sebagai salah satu dari EBT yang pemanfaatannya sebagai bahan baku dari biodiesel saat ini jauh lebih unggul dibandingkan minyak nabati lainnya hingga 25 juta ton pada 2021. Harganya yang relatif kompetitif, volume besar, dan pasokan yang stabil sepanjang tahun membuat minyak sawit sesuai dengan kebutuhan industri biodiesel dunia (Mekhlief et al., 2011; PASPI Monitor, 2021w). Kondisi inilah yang membuat hingga saat ini minyak sawit sangat unggul sebagai kebutuhan kebutuhan industri biodiesel dunia.
Peran biodiesel dari minyak sawit selain sebagai energi bahan bakar nabati yang rendah karbon, juga berperan dalam peningkatan perekonomian di Indonesia. Dilansir dari laman www.cnbcindonesia.com (2023), Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan bahwa "Kalau kita menggantungkan minyak sawit hanya untuk bahan pangan, relatif tidak bisa memberikan serapan yang besar. Dampaknya akan berpengaruh terhadap harganya minyak sawit, karena suplainya lebih besar dibandingkan demand." Hal ini sangat sebanding karena hingga saat ini penggunaan minyak sawit hanya difokuskan kepada bahan untuk konsumsi dan kecantikan saja. Sehingga perlu adanya pengembangan baru dalam pemanfaatan minyak sawit sebagai biodiesel. Oleh karena itu dalam mendukung peran biodiesel ini, BPDPKS melalui program-programnya telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Dilansir dari laman www.cnbcindonesia.com (2023), Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan bahwa "Kita mendanai 48,19 juta liter, biodiesel sejak 2015 ini didanai BPDPKS. Kalau pengurangan emisi GRK setara 64,16 juta ton karbondioksida, artinya program biodiesel kita juga memberikan kontribusi besar dalam rangka NZE yang akan dicapai di 2060." Kemudian juga dilansir dari laman www.bpdp.or.id (2020), Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman dalam Exclusive Interview oleh CNBC Indonesia yang bertajuk "Biodiesel Pascapandemi Covid-19, Lanjut atau Terhenti?" di Jakarta, Kamis (30/7/2020) mengatakan bahwa "BPDPKS tugasnya membiayai untuk menutupi gap harga solar dan biodiesel." Hal ini dilakukan BPDPKS dengan tujuan agar produksi minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel dapat digunakan semaksimal mungkin sehingga setiap masyarakat dapat merasakan dampak baik penggunaan biodiesel dari minyak sawit ini serta diharapkan juga setiap para pelaku petani sawit dapat memperoleh keuntungan semaksimal mungkin melalui penjualan hasil produksi kelapa sawit dan minyak sawitnya dengan harga yang cukup tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya hingga saat ini BPDPKS sebagai lembaga pengelola pendanaan perkebunan kelapa sawit melalui program-programnya tidak hanya mendukung dalam mencapai Indonesia emas 2045 dan NZE 2060 tetapi juga berperan dalam peningkatan perekonomian di Indonesia melalui pemanfaatan tanaman kelapa sawit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H