Mohon tunggu...
Dio Prasasti
Dio Prasasti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sepak Terjang Media Daring Abal-abal dalam Pemberitaan Tentang Ahok

14 April 2016   15:23 Diperbarui: 14 April 2016   18:30 3689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1.      http://pembawaberita.com/2016/04/10/akibat-pesta-bir-ketahuan-sesama-pendukung-ahok-saling-menyalahkan.html

2.      http://www.nbcindonesia.com/2016/04/wilayah-yang-dikuasai-etnis-tionghoa-di.html

3.      http://www.nbcindonesia.com/2016/04/pakar-metafisika-ingatkan-bakal-ada.html

Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya empunya media-media ini. Tidak ada kebijakan redaksi apabila anda mencari di situs tersebut. Tidak ada juga struktur organisasi wartawan yang jelas dan dicantumkan. Sehingga, kedua media ini bisa kita sebut sebagai media daring abal-abal. Bahkan tidak tanggung-tanggung salah satu media tersebut membawa-bawa nama salah satu media Amerika Serikat. Ini tentu juga bisa dikategorikan pelanggaran hak cipta.

Dengan adanya ketidakjelasan dalam media abal-abal tersebut, tentu kita bisa mengatakan bahwa media tersebut tidak memenuhi kriteria jurnalisme daring. Bahkan, kita bisa menduga bahwa media tersebut adalah milik organisasi non-jurnalistik. Sehingga, kode etik jurnalistik juga tidak bisa dikenai oleh Dewan Pers karena memang bukan media jurnalistik. Salah satu tulisan di Kompasiana bahkan mengatakan, situs NBCIndonesia menggunakan jasa pembuatan situs dalam pembuatannya. Tulisan lengkapnya bisa dilihat di sini: http://www.kompasiana.com/ad.agung/nbc-indonesia-silumannya-siapa_5662fce46823bd3020495be4

Sebagai sebuah bentuk dari media baru, media daring juga terbentuk dan mempengaruhi public sphere yang ada di dalam dunia maya. Dalam buku Creeber dan Martin, Habermas mengatakan public sphere (dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan menjadi ruang publik) adalah suatu tempat ideal dimana semua orang (tidak hanya berdasarkan kelas, pendapatan, kelompok, gender, ras, dan etnisitas) bisa duduk dan berbagi ide dengan orang lain tentang sosial ekonomi dan isu politik yang menjadi kepentingan publik dan menarik, dengan kritik yang membangun dan debat yang rasional (2009: 140).

Sayangnya, kritik yang membangun dan rasional yang harusnya ada di dalam media-media daring abal-abal tersebut tidak ada. Bahkan, pembaca pun tidak memiliki interaktifitas yang seharusnya ada di dalam sebuah media daring. Pengguna seakan digiring opininya agar sesuai dengan apa yang mereka tulis. Hal ini buruk bagi sebuah dunia jurnalisme daring. Belum lagi apabila kita melihat judul-judulnya yang sangat menggiring opini dari pembacanya. Tanpa kita membacanya pun, kita tahu apa isi dari pemberitaan tersebut.

Padahal, interaktifitas inilah yang menurut Deuze, menjadi ciri dalam sebuah jurnalisme online. Interaktifitas berarti  jurnalisme online, dia harus mampu memiliki interaktifitas dengan pembacanya (1999:377). Memang, kolom komentar pembaca memang ada di dalam media-media tersebut. Namun, komentar yang ada pun kebanyakan hanya merupakan hujatan terhadap media tersebut dan tidak terjadi diskusi yang sehat. Ini bisa dibilang merupakan kesalahan media abal-abal tersebut. Mereka juga tidak menyediakan forum diskusi yang baik dan menghilangkan esensi interaktifitas itu sendiri.

Media daring abal-abal tersebut sesungguhnya bisa dilacak dan bisa dikenakan pasal karena telah melanggar Undang-Undang Pers no. 40 Tahun 1999. Terutama mengenai berita bohong dan juga pemberitaan yang bernada SARA. Selain itu, media-media tersebut juga bisa dikenakan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang no. 11 tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam pasal tersebut menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.

 Dalam hal ini, kerugian yang ditanggung adalah kerugian yang dirasakan mereka yang disudutkan. Dalam kasus ini Ahok ataupun orang lain yang sama latar belakangnya agama dan ras nya dengan Ahok, bisa saja melaporkan media online ini. Dewan pers pun seharusnya dalam hal ini juga harus berani tegas dalam menindak media-media online bodong seperti ini. Selain itu, harus ada regulasi yang jelas agar media online tidak melanggar etika jurnalisme.

Bahkan kita ingat, pada era pemilu 2014, banyak media-media palsu yang membawa-bawa media online yang kredibel sebagai nama dari situs mereka. Mereka adalah: Tempo.co, Kompas.com, Antaranews.com, Detik.com, Tribunnews.com, Liputan6.com, dan Inilah.com. Tujuh media tersebut tiba-tiba muncul dengan nama baru dan hanya dibedakan dengan embel-embel “-news.com” dan tampil seperti sebuah blog. Tentu ini juga merupakan pelanggaran hak cipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun