[caption caption="Salah satu media daring yang tidak mencantumkan redaksinya (Sumber: dokumen pribadi)"][/caption]Dunia jurnalistik di Indonesia saat ini sering diisi oleh banyak figur publik. Mulai dari politisi hingga selebriti, semua punya kesempatan eksis tidak hanya di televisi. Sejak munculnya Joko Widodo sebagai walikota Solo hingga jadi presiden, selalu muncul figur baru di Indonesia. Â Mulai dari Ridwan Kamil walikota Bandung, Tri Risma walikota Surabaya, Ganjar Pranowo gubernur Jawa Tengah, dan yang terakhir Dedy Mulyadi yang merupakan bupati Purwakarta.Â
Namun, di antara mereka ada satu figur yang namanya tidak pernah hilang dari media. Â Figur menarik tersebut adalah Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Sosoknya yang kontroversial terus mengundang komentar dari berbagai pihak. Banyak pihak yang pro dan kontra pada cara kerjanya dan juga komunikasi politiknya yang dianggap sangat buruk oleh lawan-lawannya.
Kebijakan-kebijakannya yang sangat kontroversial dan gayanya yang koboi, menjadi suatu hal yang menarik dan terus menerus diberitakan oleh media. Hampir setiap hari, nama Ahok pasti terlintas di media yang kita lihat atau kita dengar. Belum lagi, para pendukungnya yang siap membela dirinya habis-habisan apabila Ahok mendapatkan perlawanan dari lawan-lawan politiknya.
Di media daring sendiri, Ahok, panggilan akrabnya, juga menjadi sumber berita yang bernilai. Terutama dari sisi proximity, prominence, dan juga sisi waktunya.  Dari sisiproximity atau kedekatan, Ahok sangat dekat dengan masyarakat Jakarta, ibukota Indonesia. Dari sisi prominence atau sesuatu yang terkenal, tentu Ahok dikenal oleh masyarakat Indonesia. Aksi Ahok yang terus ada membuat beritanya selalu timeliness. Namun, nilai berita lain yang menjadi nilai lebih adalah mengenai konflik Ahok dan lawan-lawannya. Menurut Ishwari (2005: 49), kebanyakan konflik adalah berita. Walaupun yang ditekankan adalah konflik fisik, namun debat tentang kepentingan publik dan isu yang menyangkut kualitas daei kehidupan  mendapat tempat penting dalam pemberitaan. Dalam hal ini, konflik yang terjadi di kasus Ahok menyangkut kepentingan publik di  Jakarta melawan kepentingan beberapa pihak.
Setiap harinya, pasti ada media daring yang memberitakan mengenai sepak terjang Ahok maupun lawan-lawannya. Menurut sebuah berita di Bisnis.com, pada bulan Desember 2015 saja ada 10.092 berita daring tentang Ahok. Hal itu disampaikan oleh PT Isentia Jakarta yang melakukan perangkuman berita Ahok sepanjang Desember tahun 2015. Setelah media daring, Ahok juga tercatat dalam 1.513 artikel di media cetak, 140 artikel di televisi, dan majalah mencapai 38 artikel sehingga total mencapai 11.783 artikel.(Sumber: http://jakarta.bisnis.com/read/20160111/388/508884/pemberitaan-ahok-di-media-online-mencapai-10.092-artikel)
Sayangnya, sebagai media yang tidak lepas dari kepentingan pemiliknya, media daring juga bisa berpihak. Namun keberpihakan itu tidak diiringi dengan etika dalam pemberitaannya. Pemberitaan yang menjurus ke SARA terkadang menjadi cara mereka untuk menyerang Ahok. Bukan hanya mengkritik sudah menjurus ke arah yang lebih buruk.
Padahal dalam kode etik jurnalistik Dewan Pers sendiri, sudah ada suatu poin yang mengatakan bahwa Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan erita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau jasmani. Selain itu, wartawan Indonesia juga tidak boleh memberitakan pemberitaan yang sifatnya fitnah, sadis, ataupun cabul. Dalam kasus Ahok, yang paling banyak menjadi sorotan adalah berita yang bersifat fitnah.
Pemberitaan bernada menyerang ini sering dilakukan oleh media yang memiliki kepentingan yang berlawanan dengan sang gubernur. Televisi dan media daring menjadi salah satu yang paling banyak melakukan serangan terhadap Ahok. Dalam hal ini, media yang saya soroti hanya daring saja.
Media daring memiliki fitur interaktifitas di mana public sphere berperan penting dalam interaktifitas tersebut.Public sphere mampu mempengaruhi bagaimana suatu masyarakat bertindak, dan bagaimana nantinya hal tersebut mampu mempengaruhi suatu jalannya politik dan sosial di negeri kita. Media daring itu sendiri juga merpakan bentuk dari public sphere, di mana tidak hanya wartawan yang bisa menulis namun juga non-jurnalis.Â
Apabila kita melihat dari kasus Ahok, media daring sangat memiliki peran penting di dalam hubungan Ahok dengan masyarakat Indonesia khususnya Jakarta. Media daring menjadi bentuk konflik virtual yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Antara mereka yang pro dan kontra terhadap Ahok.
Namun, inilah yang menjadi masalah baru. Beberapa mengatasnamakan sebagai sebuah media daring untuk menyudutkan suatu pihak. Dalam hal ini adalah Ahok dan latar belakangnya sebagai orang Tionghoa dan Kristiani. Saya ambil contoh tiga artikel berikut ini.