Mohon tunggu...
Dionysia Mayang Rintani
Dionysia Mayang Rintani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Jurnalistik 2010; Alumna SMA Stella Duce 1 Yogyakarta, jurusan Bahasa angkatan 2010; Penikmat senja, sastra, dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wisata Museum Benteng Heritage, Terlupakankah?

24 Juni 2012   15:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik matahari, aroma ikan asin, dan jalanan yang sedikit becek di sepanjang Jalan Cilame, ditambah para pekerja yang satu dua saja mengangkut barang dagangan, sementara yang lain terkantuk-kantuk lelah. Menyusuri dan masuk ke dalam Pasar Lama, Tangerang, tak kita bayangkan bahwa ada sebuah bangunan beraksitetur tradisional Tionghoa yang tegak berdiri. Mungkin kita juga bakal terkaget-kaget juga, bahwa bangunan yang sepertinya masih apik dengan cat terangnya ini sudah berabad-abad umurnya. Bangunan yang terbuka pintunya, seakan memang mengundang setiap yang lewat untuk masuk.

Museum Benteng Heritage, merupakan hasil restorasi bangunan beraksitetur Tionghoa yang juga merupakan salah satu bangunan tertua di kota Tangerang. Bangunan yang terletak di Jalan Cilame No 20, Pasar Lama yang juga merupakan Zero Point Kota Tangerang, karena disinilah cikal bakal pusat Kota Tangerang, yang dulunya disebut kota Benteng terbentuk. Begitu seperti yang tertulis dalam selembar visitor guide yang disediakan untuk pengunjung. Begitu istimewanya bangunan dan lokasi ini, tidak sebanding dengan fakta yang ada. Pada kenyataannya, tidak banyak warga apalagi generasi muda, mengetahui bahwa ada museum peranakan yang ada di dalam Pasar Lama ini.

Masuk ke dalam ruangan depan museum kita tak akan disuguhi pemandangan museum-museum pada umumnya. Kesan segar yang mungkin juga dipengaruhi oleh pintu dean yang terbuka lebar, ruangan yang bersih dan terawat, juga keramahan dari petugas menyambut pengunjung. Di ruangan itu juga terpajang empat lukisan besar yang masing-masing menggambarkan suasana Jalan Cilame tahun 1950-an yang tidak sekumuh sekarang dan masih lebar karena tidak ada pagar-pagar seperti rumah zaman sekarang. Ada lukisan yang menggambarkan bioskop tempo dulu, dan juga suasana Jalan Cilame dari berbagai sisi. Bukti-bukti yang menguatkan bahwa bangunan gedung secara fisik dan letaknya tidak mengalami banyak perubahan sejak dibangun.

Hanya dengan sepuluh ribu rupiah untuk tiket masuk -kami menggunakan harga mahasiswa asal menunjukkan kartu tanda mahasiswa- kita akan diantar oleh seorang guide ramah menjelaskan setiap titik bersejarah bangunan itu. Lebih masuk lagi ke dalam, kita akan diminta untuk melepas alas kaki selama berada di bagian dalam museum. Tak berbeda dengan bagian depan, di bagian dalam kita masih akan dijelaskan mengenai beberapa lukisan yang juga menggambarkan kondisi Jalan Cilame tempo dulu. Lukisan-lukisan yang tergantung bukan hanya sebagai gambar reka saja, karena ternyata lukisan-lukisan tersebut berdasarkan foto-foto asli milik Pak Udaya dan pendulunya.

Tak hanya lukisan, kita juga akan disuguhi dengan berbagai macam artefak dan juga hal-hal unik di balik sejarah kehidupan etnis Tionghoa, mulai dari kedatangan armada Cheng Ho dengan rombongan yang terdiri dari sekitar 300 kapal atau 30.000 pengikut. Sebagian dari rombongan yang dipimpin oleh Chen Ci Lung diyakini sebagai nenek moyang penduduk Tionghoa Tangerang atau biasa disebut dengan Cina Benteng yang mendarat di Teluk Naga pada tahun 1407. Serasa menjadi pemain film mandarin saat kita masuk dan naik ke lantai dua yang tidak kalah menariknya dengan lantai bawah. Pintu-pintu lebar dan masih kelihatan kokoh ternyata juga sangat kuat dan sulit ditembus oleh orang jahat.

“Pintu yang besar dan mempunyai beberapa kunci dalam sistem pengamanannya ini tentu tidak dibuat tanpa alasan. Hanya pemilik rumah saja yang sanggup membuka pintu-pintu di bangunan ini dengan mudah,” tutur Alexander Theodorus, guide kami, dengan tatapan jenaka seolah menantang kami untuk membuka pintu di depan kami ini. Benar, ketika kami mencoba memang tidak dengan mudah dibuka. Bukan dengan rapalan atau mantera khusus, pintu dengan ketebalan melampaui tebal pintu zaman sekarang ini dilengkapi dengan kunci dan trik khusus yang memang dulunya pasti hanya diketahui si pemilik rumah.

Selain menyaksikan hal-hal yang berhubungan dengan budaya Tionghoa beserta artefak-artefak yang berusia ratusan tahun, di museum ini juga menyediakan galeri dimana kita bisa membeli barang-barang yang berhubungan dengan hobi, seperti buku-buku yang berkaitan dengan museum khususnya, perangko, kebaya, kain batik dan souvenir lainnya. Selain itu museum Benteng Heritage juga memiliki “Waroeng Kopi”, yang menyediakan beragam santapan makan dan minum khas peranakan Tangerang yang dapat dinikmati oleh semua orang.

Tour selama 45 menit tidak terasa lama bagi kami, karena konsep museum dan guiding yang menyenangkan. Menurut Pak Theo, tujuan museum ini dibangun bukan untuk mencari profit, tetapi benefit. Awalnya, bangunan ini diselamatkan oleh seorang bernama Pak Udaya, yang juga pendiri beberapa lembaga pendidikan di Tangerang, dari penghuni lama yang menjadikan bangunan sebagai tempat tinggal. Dibantu dengan rekan-rekan yang lain, pada tanggal tujuh bulan tujuh tahun 2007 bangunan mulai direstorasi. Selain itu, untuk melengkapi koleksi museum, tim yang semuanya merupakan volunteer termasuk juga Pak Theo berburu ke segala tempat. Beruntung, banyak koleksi merupakan sumbangan dari kolektor-kolektor.

Usaha Pak Udaya dan tim selama dua tahun proses restorasi benar-benar dimulai dari nol, dari usaha dan biaya pribadi. Sayangnya, museum yang semestinya sudah diakui dan layak menjadi objek wisata bersejarah di Tangerang ini belum mendapatkan perhatian yang layak dari dinas. Efeknya, masih banyak warga yang tahu tentang Museum Benteng Heritage, apalagi kaum mudanya. Untungnya semakin banyak pengunjung yang datang,tidak hanya satu-dua orang namun juga kadang datang rombongan dari sekolah atau juga perusahaan. Usaha mandiri yang semuanya dari nol sedikit demi sedikit juga membuahkan hasil, beberapa kali museum ini juga diliput oleh media sehingga info mengenai keberadaan Benteng Heritage dapat diketahui khalayak luas.

Ditulis untuk Majalah Sembilan. Karena kritis tak senantiasa sinis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun