Oleh Dion DB Putra [caption id="attachment_183072" align="alignright" width="300" caption="Ruud Gullit (AFP Photo)"][/caption] SUKSES selalu menghadirkan romantisme sejarah. Begitulah yang sedang menghiasai relung hati publik Belanda hari-hari ini ketika ziarah sepakbola tim Oranye di Piala Dunia 2010 berjumpa lagi dengan musuh abadinya, Brasil. Setelah dua kegagalan melawan Brasil di ajang Piala Dunia (1994 dan 1998) dan rekor tak pernah menang atas Brasil dalam sembilan pertandingan baik laga resmi maupun ujicoba, Belanda tiba-tiba merindukan figur Ruud Gullit hadir dalam tubuh tim Oranye. Mengapa Gullit? Mengapa bukan Rinus Michels atau Johan Cruyff sebagai peletak dasar tradisi total football hingga Belanda dikagumi dunia? Lewat aksi total football, Johan Cruyff menjadi ikon klub Ajax Amsterdam dan timnas Belanda sepanjang era 1970-an. Ajax berjaya di Eropa. Dan,  Belanda merupakan tim paling menakutkan di dunia pada masa itu selain Brasil dan Jerman Barat. Belanda luar biasa karena menembus babak grandfinal Piala Dunia berturut-turut tahun 1974 dan 1978. Marinus Jacobus Hendricus Michels atau lebih tersohor dengan sapaan Rinus Michels merupakan striker legendaris Ajax tahun 1946-1958. Michels pun temasuk  pilar timnas Belanda sebelum masa keemasan Johan Cruyff, Johan Neeskens dkk. Michels pula dalam kapasitasnya sebagai pelatih sukses mengantar Belanda menjuarai Piala Eropa 1988. Lalu apa bedanya dengan Ruud Gullit, pemilik rambut gimbal dan kulit sawo matang itu? Belanda mencatat nama Gullit dengan tinta emas. Dialah bintang sekaligus kapten tim Oranye saat memenangi kejuaraan sepakbola antarnegara Eropa (Piala Eropa) 1988. Sebagai pemain hanya Gullit dkk yang sejauh ini mampu memberi tropi kejuaraan bagi Belanda dalam level kejuaraan internasional antarnegara. Bukan Cruyff atau Rinus Michels! Memang tidak fair jika hanya menyebut Gullit seorang. Belanda merajai Eropa 1988 karena pelatih Rinus Michels sangat beruntung memiliki skuad dengan bakat luar biasa. Belanda 1988 memiliki trio terbaik sepanjang sejarah negeri itu, yakni Ruud Gullit, Frank Rijkaard dan Marco van Basten. Lewat trio inilah Michels mudah menerapkan  permainan  menawan sekaligus efektif meraih kemenangan. Kalah 0-1 melawan Uni Soviet (kini Rusia) pada laga perdana grup B, Ruud Gullit dkk bangkit dari keterpurukan. Belanda mengatasi Inggris dan Irlandia lalu jumpa tuan rumah Jerman Barat di semifinal. Mereka tertinggal lebih dahulu lewat gol Lothar Matthaus. Namun, Gullit mampu memotivasi rekan- rekannya. Tendangan gledek Ronald Koeman menyamakan skor menit ke-74 dan dua menit sebelum laga berakhir, Marco van Basten mencetak gol cantik guna mengantar Belanda ke final. Di partai final Piala Eropa 1988, Belanda bertemu lagi Uni Soviet. Soviet hancur-lebur. Gol tandukan Ruud Gullit dan satu gol dari Marco van Basten memastikan Belanda merengkuh gelar internasional pertama. Dan, itulah satu-satunya gelar internasional yang diraih Oranye sampai saat ini. Sebagai jenderal lapangan tengah, belum ada pemain Belanda yang menyamai reputasi Ruud Gullit, anak Belanda berdarah Suriname itu. Dari aksi-aksi briliannya di lapangan kemudian muncul istilah free player atau pemain bebas dalam sepakbola. Sejatinya Gullit adalah gelandang. Tapi  Rinus Michels memberi kebebasan penuh untuk berekspresi. Gullit menjadi pemain bebas yang boleh menjelajahi seluruh sisi lapangan. Dia tidak terikat tuntutan strategi dan taktik pelatih menghadapi setiap tim yang berbeda karakter atau cara bermain. Skill individunya komplit. Dia bisa menjadi pemain bertahan, pengatur serangan sekaligus pencetak gol. Didukung Frank Edmundo Rijkaard sebagai ksatria lini belakang dan Marco van Basten sebagai ujung tombak Belanda, Gullit memainkan perannya dengan sempurna. Gullit memberi visi dan misi dijalankan dengan baik oleh Basten dan Rijkaard. Peran pemain bebas itu pula yang dipercayakan Pelatih AC Milan, Fabio Capello saat tim raksasa Italia itu berjaya di Serie A dan Liga Champions Eropa 1987-1993. Berkat kontribusi trio Belanda, Gullit, Rijkaard dan Basten, AC Milan  dijuluki the dream team. Tim impian yang tak terkalahkan dalam waktu lama. Bersama AC Milan, Gullit dkk  mempersembahkan tiga kali juara liga Serie A (1987-1988, 1991-1992 dan 1992-1993), dua kali juara Liga Champions Eropa (1988-1989 dan 1989-1990),  juara super Eropa dan Piala Toyota (1990). Gullit menjadi pemain terbaik Eropa 1987 dan pemain terbaik dunia tahun 1987 dan 1989. Rekannya Marco van Basten meraih penghargaan pemain terbaik Eropa tiga kali (1988, 1989 dan 1992) dan  pemain terbaik dunia tahun 1992. Setelah trio Belanda itu pensiun, prestasi AC Milan tak pernah sama lagi. Belanda sudah dua kali bertemu Brasil di event Piala Dunia yaitu Piala Dunia 1994 dan 1998. Dalam jumpa perdana pada babak perempatfinal di  Dallas 9 Juli 1994,  Belanda menyerah 2-3 atas Brasil yang dikapteni Dunga. Brasil akhirnya keluar sebagai juara. Di Marseille, 7 Juli 1998, Belanda lagi-lagi terkapar lewat adu penalti dengan skor 2-4  dalam partai dramatis di babak semifinal. "Sayang sekali kami bertemu Brasil di Piala Dunia justru pada masa emas Ruud Gullit dkk telah berakhir. Seandainya kami bertemu tahun 1988, ceritanya bisa berbeda," kata Rinuls Michels setelah Belanda bertekuk lutut di Piala Dunia 1994. Pengandaian mendiang Rinus Michels itu pula kiranya yang sekarang bergejolak di lubuk hati Belanda. Tim asuhan Bert van Marwijk merindukan "spirit" Ruud Gullit, Rijkaard dan Basten hidup lagi di tim Oranye 2010 yang malam ini menjalani partai hidup mati melawan Brasil di perempatfinal South Africa 2010. Belanda 2010 memang memiliki trio Wesley Sneijder, Giovanni van Bronckhorst dan Arjen Robben. Sama seperti Brasil, Belanda pun meraih hasil 100 persen dalam empat laga yang telah dilewati. Tapi soliditas dan kecerdasan Sneijder dkk sekian kelas di bawah trio Gullit 1988. Boleh jadi malam ini adalah  kegagalan ketiga Belanda atas tim yang sama di Piala Dunia. Jika terbukti demikian, maka dunia lagi-lagi hanya akan mengenang goyang Samba sebagai pemenang! Betapa pun pasukan Dunga mulai meninggalkan keindahan  jogo bonito- nya. Di Stadion Nelson Mandela Bay, Port Elizabeth malam ini, Belanda mendapat kesempatan emas untuk menghentikan rekor tak pernah menang atas anak-anak Brasilia. "Mungkin untuk pertama kali di Afrika Selatan 2010, kami menjadi tim underdog. Tapi kami memiliki rasa percaya diri tinggi. Ini pertandingan hebat. Kami  datang ke sini dengan satu alasan, yaitu mendapat hadiah terbesar. Kami harus percaya dengan niat kami ini," kata Marwijk. Kita tunggu bagaimana Belanda mau menulis sejarahnya sendiri di Piala Dunia pertama Afrika. Selamat menonton.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H