Mohon tunggu...
Dion DB Putra
Dion DB Putra Mohon Tunggu... profesional -

Dion DB Putra adalah wartawan. Dion lahir di Ende, salah satu kota bersejarah di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampai detik ini masih belajar membaca dan menulis...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jika Wasit Sudah Memutuskan...

1 Desember 2009   13:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:07 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

STADE de France-Paris, Rabu malam 18 November 2009. Menit ke-104. Dua bintang bola memainkan perannya yang akan lama dikenang. Keduanya adalah Martin Hansson dan Thierry Henry. Di menit ke-104 yang tegang, Henry berada di kotak penalti, persis di sisi kanan gawang Shay Given. Hansson yang telah keletihan tercecer jauh di luar kotak 16 meter. Di dalam area terlarang, Henry menerima bola hasil tendangan bebas, bukan dengan kaki tetapi tangannya. Ha? Tangan kiri Henry menyentuh bola dua kali. Sekali untuk menghentikan bola dan sekali untuk menyesuaikan arah bola sebelum mengumpankannya kepada William Gallas yang menanduk bola guna menyamakan kedudukan 1-1 pada masa perpanjangan waktu. Tanpa bertanya dulu kepada hakim garis, ofisial keempat dan Henry, Hanson meniup peluit mensahkan gol Gallas. Perancis yang ngos-ngosan menang agregat 2-1 dan terbang ke Afrika Selatan 2010. Paris berpesta pora. Dublin bagaikan kota mati. Mestinya Rabu malam itu anak-anak Irlandia berhak pesta atas permainan mereka yang luar biasa di jantung ibukota Perancis. Hanson dan Henry merusaknya lewat sadisme bola yang kejam. Pemain dan fans Irlandia batal pesta bir sambil bernyanyi, "Drink, boys, drink all the night you like" (minum, minumlah sesukamu sepanjang malam). Mimpi Irlandia buyar sekejap karena handball Henry dan ketidakjelian wasit Hansson memutuskan. Dalam tayangan ulang televisi terlihat bening Henry menyentuh bola dengan tangan. Dan, Henry berkata jujur. "Saya jujur, itu handball.  Namun, saya bukan wasit," kata Henry.  Irlandia protes keras. Usulkan pertandingan ulang. "Betul, itu memang handball. Cara paling adil adalah pertandingan ulang," tambah Henry. Tapi badan sepakbola dunia (FIFA) merespons cepat dan tegas. Tidak ada laga ulang. Perancis lolos ke Piala Dunia 2010. Titik! Setelah tragedi "Hand of God" Diego Maradona yang menghancurkan Inggris di Piala Dunia 1986, inilah tragedi kedua yang akan selalu dikenang dalam sejarah sepakbola. "Handball Henry" adalah cara terkejam untuk menghancurkan mimpi Irlandia tampil di Piala Dunia pertama di benua Afrika. Percayalah, seribu tahun lagi pun debat tentang gol Maradona dan Henry tak kan usai. FIFA menjunjung tinggi prinsip fair play termasuk keputusan wasit yang mutlak meski sebagai manusia biasa wasit bisa salah. Dalam sepakbola berlaku adagium ini: Jika wasit sudah memutuskan, semuanya berakhir! Dalam satu dasawarsa terakhir FIFA tak henti-hentinya didesak untuk mau menggunakan alat bantu teknologi. Misalnya tayangan ulang televisi untuk memastikan seorang pemain handball, melakukan pelanggaran atau memastikan si kulit bundar sudah melewati garis gawang. FIFA tidak menggubris karena ingin mempertahankan kemurnian permainan bola yang tak luput dari sisi lemah manusia. Sampai sekarang yang baru disetujui FIFA adalah alat komunikasi antarwasit demi memudahkan komunikasi antara mereka  saat memandu jalannya pertandingan. Bola memelihara unsur manusiawinya. Itulah yang menjadikan sepakbola penuh pesona dan gairah. Bola bagaikan drama kehidupan yang selalu berwajah tangis dan tawa. Tangis Irlandia, tawa buat Perancis. Ibarat drama, dalam sepakbola mengenal prinsip to err is human. Kesalahan itu manusiawi. Mau apa lagi? Hati nurani tuan dan puan pastilah terkoyak menyaksikan gol "Tangan Tuhan" Maradona 1986 dan "Hand of Frog" Henry 2009. Namun, sebagian dari tuan dan puan terhibur oleh aksi Maradona-Henry dan terutama kejujurannya mengakui penggunaan tangan. Mereka tahu itu salah, tetapi mengakuinya. Kejujuran merupakan sisi manusiawi yang terpuji. Mendengarkan suara hati. Itulah keutamaan olahraga, termasuk sepakbola. Maka keputusan mutlak wasit sepakbola mengandung kelemahan manakala wasit tega membohongi hati nuraninya sendiri. Di negeri kita tercinta banyak kasus berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan wasit. Peristiwa terkini yang cukup menyedot perhatian adalah partai final Copa Indonesia bulan Juni lalu antara Sriwijaya FC melawan Persipura Jayapura di Palembang. Sepakbola Indonesia kembali menorehkan kegetiran ketika pertandingan final kala itu berakhir dengan pemogokan pemain Persipura Jayapura pada menit ke-60 karena tidak puas atas keputusan wasit Purwanto. Persipura pun dinyatakan kalah walk out dalam kedudukan 0-1 untuk Sriwijaya FC. Duel bergengsi yang mempertemukan Sriwijaya FC sebagai juara bertahan Copa Indonesia dan Persipura sebagai juara Liga Super Indonesia itu menuai ketidakpuasan banyak pihak. Keputusan wasit menjadi pemicunya. Di Nusa Tenggara Timur baru saja usai  kejuaraan sepakbola bergengsi berlabel Piala Gubernur NTT. Selama kejuaraan itu, para pemain bermain penuh semangat, penonton membanjiri stadion dan panitia bekerja keras. Segala sesuatu berjalan baik sampai grandfinal tanggal 24 November 2009 lalu. Justru di partai puncak itu sadisme bola mengoyak nurani banyak orang yang memuja fair play. Pemicunya ketidakpuasan terhadap keputusan wasit. Laga berjalan cuma setengah jalan. Terhenti menit ke-36. Pemain satu kesebelasan enggan melanjutkan laga karena kecewa. Wasit memvonis salah satu tim berhak juara. Keputusan wasit mutlak. Itulah sepakbola. Biar jauh di kampung Nusa Tenggara Timur, aturan FIFA tetap tegak berdiri. Jika wasit sudah memutuskan, semuanya berakhir! Demikianlah bahaya keputusan mutlak. Orang dapat menyalahgunakan kewenangan  untuk kepentingan materi sesaat. Dalam sejarah sepakbola skandal perwasitan bukan hal baru. Mafia perwasitan terjadi sejak lama dan berlangsung di mana-mana. Kompetisi elite Jerman (Bundesliga) pernah diguncang skandal perwasitan yang berakhir dengan penjara bagi para pelakunya. Skandal terbaru melanda sepakbola Italia menjelang putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman. Italia yang menjadi model sekaligus barometer  kompetisi sepakbola sedunia ternyata tak luput dari prahara itu. Sejumlah wasit yang memimpin kompetisi Liga Serie A Italia terbukti mengatur skor pertandingan. Berbekal kewenangan mutlak, mereka mengatur tim A menang, tim B yang dikalahkan. Dalam waktu cukup lama Juventus merupakan salah satu klub raksasa Italia yang diuntungkan oleh pengaturan skor itu. Ketika skandal terkuak, Juventus dihukum. Super Juve turun status  ke Serie B dan harus berjuang susah payah untuk kembali berlaga di ajang Serie A yang bergengsi. Bagaimana Indonesia?  Ah, ini negara bebas merdeka dari skandal perwasitan. Skandal perwasitan di negeri juara korupsi ini sekadar rumor, cuma sas sus dari mulut ke mulut karena belum pernah ada upaya konkret untuk mengungkap dengan serius disertai proses hukum. Jadi kalau mau menjadi wasit sepakbola, jadilah wasit di Indonesia. Tuan mendapat hak istimewa. Kebal hukum! Berulang kali saya  mendengar sendiri dari mulut pengurus teras PSSI di sini tentang busuknya mafia perwasitan nasional. Ketika tim NTT berlaga di luar daerah, misalnya,  tim  didekati untuk membicarakan hasil pertandingan. Skor  dapat diatur tergantung berapa bayarannya. Yang menang adalah yang mampu membayar. Tim juara tergantung kekuatan uang! Indikator mutu wasit kita simpel saja. Berapa banyak wasit asal Indonesia yang dipercaya memimpin laga internasional? Hampir tidak ada sekarang, bung! Tim kebanggaan kita toh  kalah melulu! Kita sudah terbiasa melihat wasit melawan fair play. Kita sudah biasa melihat pemain mogok atau bakupukul. "Kebiasaan" itu melahirkan penyakit psikologi yang memilukan. Orang tidak lagi merasa hal itu sebagai sesuatu yang buruk dan perlu dilawan. Teringat kegundahan salah seorang Bapak Bangsa Indonesia, Drs. Mohammad Hatta. Ikhwal korupsi, Hatta melukiskan seperti bau kentut. Tidak jelas sumbernya, tetapi aroma busuknya tercium dan terbang ke mana-mana. Kita merasakan kejamnya skandal, tetapi belum mau memberantas skandal itu. Sepakbola Indonesia berwajah korup, apakah muskil? Siapa berani menampik? *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun