Mohon tunggu...
Dion Prass
Dion Prass Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

In fact I know nothing

Selanjutnya

Tutup

Politik

The Hunger Games dan Perihal kesadaran

24 November 2014   00:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:02 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

The Hunger Games merupakan salah satu film yang populer saat ini. Sekuelnya telah ditunggu-tunggu oleh ratusan ribu atau mungkin jutaan publik Indonesia. Bagi para penggemar novel atau film bergenre dystopia, The Hunger Games tidak menyajikan sesuatu yang baru dalam hal ide. Novel-novel seperti 1984 (George Orwell), Brave New World (Aldous Huxley), dan We (Yevgeny Zamyatin ) merupakan rujukan paling umum bagi penggemar dystopia. Dystopia sendiri kerap kali diartikan sebagai lawan atau kebalikan dari utopia. Jika di dalam utopia digambarkan kehidupan yang damai, aman, sentosa, tata tentrem kerta raharja, maka sebaliknya, di dalam kehidupan dystopia kodrat alamiah manusia adalah ketertindasan. Di alam dystopia manusia tidak lagi memiliki kehendak pribadi yang bebas, tetapi ditentukan oleh penguasa (tidak hanya dalam artian sempit penguasa politik, tetapi juga pemilik modal). Takdir manusia telah disegel dan segala sendi kehidupannya diatur oleh penguasa. Itulah hidup di alam dystopia.

Di dalam 1984 (baca: nineteen eighty-four) digambarkan, penduduk Oceania merayakan pekan benci, di mana salah satu agendanya adalah menyaksikan film propaganda yang tujuannya untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, lebih tepatnya kebencian terhadap negara rivalnya yakni Eurasia dan Eastasia. Di dalam pekan benci para anggota terluar partai (terdiri dari 13% populasi) diperkenankan untuk meluapkan kemarahan dan kebenciannya terhadap musuh, dengan berteriak, mengumpat, bahkan melempar kursi. Pekan benci diciptakan semata-mata untuk melestarikan kebencian secara terus menerus, sehingga alasan untuk berperang pun terus lestari. Perang merupakan bisnis yang paling menggiurkan sekaligus alat yang paling efektif untuk mengontrol manusia, menekan kesadaran akalnya, sehingga mereka lupa terhadap kemerdekaan pribadi atas rasa takut, kelaparan, dan penindasan.

Masih di dalam 1984, kehidupan pribadi dikontrol ketat oleh penguasa. Di setiap sudut kota, kantor, bahkan kamar terdapat teleskrin – sejenis cctv sekarang – yang ditujukan untuk mengawasi pergerakan anggota partai terluar. Semua anggota terluar partai tidak memiliki waktu pribadi (privat), sepanjang waktu diawasi oleh penguasa. Bahkan di Oceania terdapat polisi pikiran yang tugasnya mengawasi dan mencegah munculnya ide-ide subversif yang membahayakan eksistensi penguasa. Hal yang sama persis terjadi di masa Orde Baru: di mana setiap tahun rakyat dipaksa untuk menyaksikan film propaganda G30S/PKI; di mana setiap gerak-gerik kita diawasi oleh penguasa; di mana di setiap pojok kampus terdapat intel (polisi pikiran) yang mengawasi dan mencegah munculnya wacana-wacana anti status quo.

Kembali lagi ke The Hunger Games. Populernya film ini di kalangan masyarakat luas satu pertanyaan besar: apakah masyarakat menyadari pesan yang ingin disampaikan (dalam hal ini mengenai dystopia)? Atau jangan-jangan masyarakat hanya menganggap film The Hunger Games menarik dari sisi jalan cerita dan pemerannya? Atau yang lebih parah lagi jangan-jangan sebagian besar yang menonton hanya ngikut arus?

Saya khawatir sebagian besar masyarakat yang menyaksikan The Hunger Games masuk ke golongan yang hanya manut grubyuk (ikut-ikutan) saja. Tidak memahami jalan cerita, alih-alih ide utama film mengenai dystopia. Lebih khawatir lagi terhadap mereka yang menganggap film tersebut sebagai fiksi belaka, tidak lebih dari hiburan masyarakat urban modern, yang tidak pernah dan tidak terjadi di dunia nyata. Namun apa daya inilah realita. Sebagian besar masyarakat Indonesia tentunya masuk ke dalam dua golongan yang dimaksud. Dan di sinilah saya memahami betapa dahsyatnya revolusi kapitalisme. Revolusi yang tentunya luput dari ramalan Karl Marx. Marx tentunya tidak menyangka bahwa potensi revolusi tidak hanya dimiliki kaum proletar, tetapi juga dimiliki oleh para pemilik modal. Revolusi kapitalisme memunculkan sebuah sistem eksploitasi (penindasan) baru, di mana yang dieksploitasi (tertindas) tidak lagi merasa tereksploitasi (tertindas), tetapi justru menjadi penyokong utama sistem kapitalis!

Jika dulu para pemodal menyokong ide Soeharto yang (mungkin) terinspirasi oleh George Orwell dengan menerapkan aturan-aturan yang sama persis seperti penggambaran di dalam 1984 (dengan pengawasan dan propaganda), saat ini tidak demikian adanya. Rakyat tidak perlu khawatir bahwa pola-pola kebijakan represif model Orde Baru akan terulang. Itu tidak akan terjadi. Buktinya, jika dulu film-film (yang diangkat dari novel) bergenre dystopia kerap kali dilarang beredar, karena dikhawatirkan menciptakan pemberontakan, sekarang justru laris manis di pasaran. Ini ibarat memfilmkan Das Kapital dengan budget jutaan dollar, ditonton oleh jutaan orang, dengan laba berkali-kali lipat dari modal awal, tetapi tidak merubah apa pun?!? Alih-alih memunculkan perlawanan, justru melanggengkan sistem kapitalis!

Perlawanan memang bukanlah perkara yang mudah. Perlawanan tiada berarti tanpa kesadaran. Buka pintu kesadaran lebar-lebar, baru genderangkan perlawanan. Tanpa kesadaran kita akan tergelincir dalam lubang perangkap kapitalis – yang sangat rapi dan halus penampakkan luarnya, tetapi mematikan di dalamnya. Bukalah pintu kesadaran selebar-lebarnya, dan mulailah sadar terhadap hal kecil. Saya akan memberikan ilustrasi singkat dari pengalaman pribadi.

Beberapa waktu yang lalu bapak saya divonis menderita penyakit kronis hati. Dokter menyatakan, saat ini belum ada obat yang terbukti bisa menyembuhkannya. Meski demikian, dokter menyarankan untuk mengambil satu program terapi untuk menekan perkembangbiakan virus, dengan syarat: sekali dimulai, bapak harus berkomitmen untuk menyelesaikan terapi hingga selesai selama satu tahun. Dokter beralasan karena mahalnya harga obat maka terapi harus dilakukan sampai tuntas, jika tidak maka akan sia-sia. Namun saya tidak begitu saja memercayainya. Berdasar saran dari seorang teman untuk selalu menanyakan perihal obat apa yang akan diberikan, maka saya pun menanyakannya kepada dokter. Segera setelah mendapatkan jawaban, saya mencari informasi di internet.

Kecurigaan saya terbukti benar. Ternyata obat yang akan diberikan selama terapi memiliki efek samping yang juga mematikan. Ini kutipan langsung dari salah satu website rujukan,”PEGASYS alone or in combination with ribavirin can cause serious side effects. Some of these side effects may cause DEATH. PEGASYS, like other alpha interferons, may cause or worsen fatal or lifethreatening problems (like mental, immune system, heart, liver, lung, intestinal and infections). Your doctor should monitor you during regular visits. If you show signs or symptoms of these conditions, your doctor may stop your medication. In many patients, but not all, these conditions get better after they stop taking PEGASYS.”

Pencarian saya tidak berhenti sampai di situ. Dari salah satu website saya menemukan satu petunjuk penting, bahwa Pegasys merupakan satu-satunya obat rujukan yang diakui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat (AS). Berbekal budaya investigasi yang diperoleh di bangku perkuliahan, saya melanjutkan pencarian, dan menemukan satu buku penting mengenai FDA. Di dalam buku berjudul The FDA Exposed (http://www.mercola.com/downloads/bonus/the-FDA-exposed/default.aspx) terungkap fakta mengejutkan bahwa angka kematian akibat reaksi obat-obatan mencapai 106.000 per tahun. Ingat itu hanya di Amerika Serikat saja! Selain itu, dan ini sebenarnya bukan hal yang baru, FDA juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan perusahaan-perusahaan obat raksasa Amerika. Sehingga pada titik ini terciumlah aroma bisnis penyakit dan obatnya.

Itu hanyalah secuil kisah yang baru-baru ini saya sadari. Saya berharap secuil cerita di atas dapat memberikan gambaran betapa pentingnya kesadaran di dalam zaman keraguan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun