Apakah Anda percaya kepada hantu? Apakah Anda pernah melihat hantu? Beruntunglah jika Anda tidak bisa melihatnya, tetapi percaya bahwa memang ada hantu, atau apa pun itu namanya. Itulah yang dimaksud dengan keimanan. Anda mempercayai sesuatu meskipun tidak pernah melihatnya atau merasakannya secara indrawi. Itulah keghaiban. Ghaib adalah sesuatu yang tidak kasat mata. Ghaib adalah sesuatu yang tidak bisa dirasakan dengan panca indra kita. Ghaib bisa juga berarti tidak hadir (absence). Pertanyaan yang seringkali muncul dari orang Barat adalah, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa ghaib itu benar-benar ada (exist) jika tidak dapat dibuktikan/terlihat?
Jika Anda tidak suka dengan film horor Indonesia, jangan khwatir, tulisan ini tidak akan membahas perihal hantu-hantu artis tersebut. Gagasan awal tulisan ini bermula ketika saya berfirasat akan mati pada hari tertentu – tentunya hari yang dimaksud sudah lewat. Mungkin karena terlalu banyak mendengar kisah-kisah mistis yang hampir selalu mendampingi kematian seseorang, seperti pertanda akan datangnya kematian. Kisah terakhir yang sangat jelas adalah ucapan perpisahan seorang korban tabrak maut di Tugu Tani melalui Facebook. Firasat akan datangnya kematian tidak bisa lepas dari kebudayaan Nusantara.
Firasat itulah yang saya rasakan beberapa waktu yang lalu. Akibatnya, saya jadi sedikit ketakutan ketika berkendara di jalan raya. Karena pengaruh yang kuat dari film Final Destination, saya jadi benar-benar paranoid dan mengamati gerak-gerik sekitar ketika berkendara. Ketakutan ini pada akhirnya menjadi kekonyolan sekaligus pencerahan, karena ketakutan akan kematian di jalan raya sewaktu mengemudi sama sekali tidak beralasan. Kematian bisa mengintai kita di mana saja, bahkan di dalam nyamannya rumah yang seumur hidup telah melindungi dari angin, hujan dan panas.
Tiba-tiba saja saya membayangkan langit-langit rumah yang terlihat tidak ada masalah. Saya tidak bisa melihat tembus pandang melalui asbes yang tebalnya sekitar 4 milimeter. Bisa saja ternyata terdapat kayu konstruksi bangunan yang rapuh, dan tiba-tiba runtuh menghantam saya. Matilah saya di dalam kamar.
Selain mendapatkan hikmah bahwa kematian bisa terjadi di mana dan kapan saja, saya juga memperoleh gambaran mengenai hal ghaib. Dari gambaran mengenai konstruksi bangunan yang rapuh dan tidak bisa kita lihat secara kasat mata, saya kemudian menyimpulkan bahwa banyak sekali hal-hal yang tidak mampu kita lihat di dunia ini. Jumlah sesuatu yang tidak terlihat mungkin sama banyaknya dengan sesuatu yang terlihat, atau bahkan jauh lebih banyak. Dari kesimpulan itu pula saya mendapatkan satu kesimpulan lagi bahwa tidak selalu sesuatu yang tidak bisa dilihat, berarti tidak ada (tidak exist). Inilah inti dari konsep ghaib dalam Islam (paling itu yang saya ketahui, dan kemungkinan besar konsep ghaib di agama lain juga serupa).
Jadi, sampai saat ini saya masih tidak menemukan alasan untuk tidak percaya kepada hantu atau apa pun itu namanya, hanya karena mereka tidak terlihat. Seperti yang telah saya katakan, banyak sekali hal yang tidak terlihat di dunia ini, dan kita tidak bisa lepas darinya. Jika saja Tuhan memberikan kemampuan untuk melihat hal-hal ghaib kepada semua manusia, niscaya mereka semua akan mati. Mereka atau kita tidak akan berani keluar rumah, bahkan kita tidak akan berani menetap di rumah, karena kemungkinan kematian yang selalu mengancam di mana saja. Kita akan bisa melihat konstruksi bangunan yang rapuh dan akan roboh; kita bisa melihat korsleting listrik yang bisa menyebabkan kebakaran atau bahkan membunuh kita secara langsung; kita bisa melihat tabung gas yang sedikit bocor dan akan segera meledak; kita bisa melihat nyamuk aedes aygepti yang menghisap darah kita; kita bisa melihat mobil yang akan menghantam motor kita; dan jutaan lagi hal-hal ghaib lainnya. Kita akan mati, bukan karena mati itu sendiri, tetapi karena kita tidak akan kuat mengetahui hal-hal ghaib yang mengerikan itu.
Melalui gambaran mengenai konstruksi bangunan tersebut, saya jadi memahami ucapan Derrida bahwa filsafat Barat sangat dipengaruhi oleh struktur dikotomis, yang saling berlawanan satu sama lain. Contoh yang diberikan Derrida adalah kehadiran (presence)>
Tidak heran mengapa seringkali orang Barat menertawakan kebudayaan non-Barat yang dianggap aneh, misterius, mistis dan sedikit terbelakang, hanya karena kita mempercayai hal-hal yang tidak kasat mata. Pada posisi ini saya juga merasa heran kepada orang Barat atau mereka yang berpikiran dengan landasan filsafat Barat, kenapa mereka bisa menertawakan kita, padahal mereka juga hidup berdampingan dengan hal-hal ghaib?
Itulah yang menyebabkan keimanan menempati posisi yang tinggi di dalam Islam. Tidak hanya Tuhan dan Malaikat saja yang tidak bisa kita lihat, tetapi juga masa depan, termasuk hari Pembalasan. Hidup kita sekarang merupakan hal ghaib sehari sebelumnya. Kita tidak bisa melihat ke masa depan, akan tetapi itu tidak menjadikan masa depan bersifat tidak ada (tidak exist). Tuhan menuntut kita untuk beriman kepada yang ghaid, bukan untuk menguji kita saja, tetapi juga ingin menunjukkan bahwa kita juga hidup berdampingan dengan jutaan hal-hal ghaib.
Jadi percayalah…….
Nowhere, 09/02/2012.
Terinspirasi oleh:
- Film “Final Destination”
- Jacques Derrida, Of Grammatology, 1998.
- Asbes rumah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H