Tahun ini ditetapkan sebagai tahun untuk berjihad melawan kebohongan oleh para tokoh lintas agama. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kesenjangan antara perkataan dan perbuatan (kebohongan) yang diciptakan oleh Pemerintah. Para tokoh lintas agama tersebut mengungkap sedikitnya sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Dari delapan belas kebohongan itu terumus tujuh poin yang secara resmi dideklarasikan sebagai kritik terhadap pemerintahan SBY-Budiono. Tindakan para tokoh agama secara cepat mendapat respon dari Istana. Pemerintah, atau SBY khususnya, segera mengambil tindakan dengan mengundang mereka ke istana untuk “berdialog”.
Meski begitu, banyak yang kemudian meragukan niatan Presiden untuk berdialog, karena berdasar pengalaman yang sudah-sudah, SBY selalu “dilindungi” oleh protokoler kaku khas Pak Beye. Polanya adalah alih-alih berdialog, Presiden kerap melakukan monolog tanpa atau sedikit umpan balik dari audiens. Dan ternyata asumsi beberapa pihak tersebut benar adanya. Para tokoh agama yang diundang, meskipun tetap menghargai undangan SBY, mengeluhkan ketidakefektivan pertemuan pada tanggal 17 Januari kemarin. Pertemuan itu dinilai hanya formalitas belaka, dengan harapan menurunkan tensi yang sempat naik akibat pernyataan para tokoh. Tulisan ini tidak akan membahas perilaku Presiden Republik Indonesia, tetapi akan berusaha menjawab mengapa Presiden begitu reaktif terhadap aksi para tokoh lintas agama. Seberapa besar sebenarnya kekuatan mereka, sehingga mengkhawatirkan Pak Beye?
Sebelumnya banyak analisa yang mengungkap bagaimana peran agamawan dalam melakukan revolusi di beberapa negara, seperti yang terjadi di Filipina dan Iran. Para analis tersebut berargumen bahwa para tokoh agama memiliki akses sampai tingkatan akar rumput, sehingga jika mereka sedikit “resah”, maka hampir bisa dipastikan masyarakat akan bergejolak. Tidak hanya terjadi di luar negeri, kisah semacam ini juga pernah terjadi di Nusantara, dan kemudian menjadi rujukan para politikus-politikus modern dalam berpolitik praktis. Kisah legendaris namun seringkali disalahpahami adalah kisah tentang revolusi yang dilakukan oleh kaum Brahmana di Tumapel (saat ini Malang) pada abad 13 masehi.
Saat itu Tumapel dikuasai oleh seorang akuwu Tunggul Ametung yang kurang bijaksana dalam mengelola pemerintahan. Sang Akuwu lebih mementingkan bagaimana mempertahankan kekuasaannya, dan menambah harta kekuasaan. Oleh karena itu seringkali kebijakan Tunggul Ametung merugikan rakyat kecil. Pajak yang begitu besar semakin memperberat hidup rakyat kecil yang sehari-harinya hidup dari bertani atau berternak. Kebijakan Sang Akuwu diperparah dengan perbudakan yang sebelumnya telah dihapuskan oleh Erlangga, sang pencetus Magna Charta versi Jawa.
Kebijakan-kebijakan Tunggul Ametung yang tidak pro rakyat itulah yang kemudian meresahkan hati kaum agamawan (Brahmana). Mereka kemudian kerap mengadakan pertemuan untuk membahas hal ini. Sayangnya kebijaksanaan mereka banyak tidak menolong, karena kurangnya ilmu dalam berpolitik praktis. Mereka dinilai hanya memiliki kebijaksanaan hidup, namun kesulitan untuk merubah kondisi yang terkadang penuh dengan ketidakadilan. Namun di saat yang bersamaan, muncul seorang pemuda cerdas dan berani berumur 22 tahun bernama Arok. Arok adalah seorang pemuda yang asal-usulnya tidak jelas. Semasa kecilnya ia diasuh oleh dua orang tua, yang terakhir oleh penjudi. Arok memiliki mata pencaharian sebagai perampas. Bukan perampas dalam artian penjahat, tetapi Robin Hood dari Tumapel. Ia seringkali merampas harta milik Tumapel yang akan diserahkan kepada Kediri, dan membagikannya kepada rakyat miskin. Kecerdasannya membuat ia tidak pernah tertangkap oleh pasukan bala tentara Tumapel, sehingga perlahan meresahkan Sang Akuwu. Berbagai tindakan telah dilakukan oleh Tunggul Ametung untuk mematahkan aksi Arok, tetapi selalu berujung dengan kegagalan. Kecerdasan Arok inilah yang juga mengantarkannya pada tokoh Brahmana, Lohgawe.
Selama beberapa tahun Arok berguru kepada Lohgawe. Modal kecerdasannya itulah yang menjadikan Arok menjadi murid paling brilian. Ia mampu menghapal kitab-kitab termahsyur, dalam bahasa Sansekerta (bahasa asing). Semakin cerdas Arok, pemberontakan semakin masif terjadi di beberapa daerah, sehingga memaksa Tunggul Ametung untuk memanggil sang tokoh agama Lohgawe. Pertemuan itu kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa Lohgawe bersedia membantu memadamkan pemberontakan. Lohgawe menyarankan agar ia mengambil Arok untuk dijadikan pembantu khusus yang bertugas memadamkan pemberontakan. Saran Lohgawe membuat Akuwu kebingungan setengah mati. Namun ia sedang berada pada jalan buntu, sehingga tidak ada jalan lain selain memasukkan Arok dalam lingkaran istana, sesuai saran Lohgawe.
Singkat cerita, kecerdikan Arok dan kemampuannya berstrategi akhirnya mengantarkannya kepada kemenangan. Hanya dalam waktu kurang lebih tiga bulan, ia telah berhasil menggulingkan Sang Akuwu Tunggul Ametung yang dzolim. Lebih mencengangkan lagi, dalam waktu dua tahun, ia kemudian menggulingkan pula kerajaan Kediri – kerajaan terkuat di pulau Jawa saat itu. Kecerdasan Arok inilah yang kemudian menjadi rujukan para politikus secara umum, dan pemimpin Indonesia khususnya, dalam berpolitik praktis. Mungkin ini jualah yang menyebabkan sebagian besar Presiden RI berasal dari Jawa.
Bisa jadi kisah Arok itulah yang membuat Pemerintah kelabakan dalam merespon aksi para tokoh lintas agama. Namun jika merujuk pada kisah tersebut, Presiden mungkin masih bisa sedikit bernapas lega, karena Sang Arok modern nampaknya belum memberikan tanda-tanda untuk muncul, sehingga posisinya masih bisa terus dipertahankan.
*Untuk bacaan lebih lanjut, baca Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.
**Bagi para akademisi Hubungan Internasional, mohon maklum jika tulisan ini sangat "tidak HI", hehehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H