Terhitung sejak Selasa (01/09/2020), Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disetujui menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR.
Tujuh hari. Ya, hanya perlu 7 hari bagi Komisi III DPR RI untuk membahas poin-poin yang akan direvisi dari Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Hal ini tak pelak menjadi sorotan publik, karena 'bekerja cepat' bukanlah sifat alamiah DPR kita kecuali untuk isu-isu 'mata air' atau besar kemungkinan dekat dengan kepentingan mereka.
Bukan kali pertama DPR mengebut pembahasan RUU kontroversial dan menjadi sorotan publik. Tahun lalu, RUU KPK yang masyhur itu juga bukan main kecepatan pembahasannya. 12 hari tepatnya.
Pembahasan revisi UU MK bahkan jauh lebih cepat lagi. Senin (24/08/2020), untuk pertama kalinya DPR dan Pemerintah rapat dengan agenda pembacaan sikap dan keterangan masing-masing.
Keesokan harinya rapat berlangsung dengan agenda pemberian Daftar Inventarisasi Masalah dari Pemerintah dan pembentukan Panitia kerja (Panja). Tanpa menunggu lama, di hari rabu Panja melakukan rapat, berlanjut ke hari kamis dan jumat. Perlu diketahui, ketiga rapat tersebut dilakukan secara tertutup.
Wakil ketua Komisi III dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Khairul Saleh mengatakan alasan tertutupnya rapat Panja tersebut adalah untuk mencegah kesalahpahaman di tengah masyarakat. Berbeda dengan Khairul Saleh, Ketua komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Herman Herry malah membantah tertutupnya pembahasan RUU ini.
Padahal, mengutip Kompas (31/8/2020),selama rapat Panja dari Rabu-Jumat, seluruh agenda rapat dilakukan secara tertutup.
Tren pembahasan kilat RUU di DPR RI tidak akan mengkhawatirkan jika dipraktikkan di RUU dengan urgensi besar dan bukan hasil kompromi kepentingan-kepentingan kotor dan culas. Sebut saja RUU PKS yang sudah bertahun-tahun diharapkan, atau Ratifikasi konvensi ILO 188 menyusul semakin maraknya perlakuan terhadap buruh migran kita.
Namun, yang terjadi malah jauh dari harapan, tren pembahasan kilat ini melahirkan produk hukum yang kontroversial dan tak esensial.
Minim urgensi