Terlepas dari fakta bahwa kedua RUU ini sama-sama kontroversial dan penuh kepentingan politik, namun pada kasus RUU KPK kita masih bisa berdebat soal urgensi karena meliputi persoalan teknis seperti badan pengawas, ketentuan penyadapan, dsb.
Namun lain hal di Revisi UU MK, poin-poin yang akan direvisi mendorong untuk mengernyitkan dahi sesiapa yang membacanya. Poin-poin yang dibahas berkutat pada persoalan usia minimal dan maksimal hakim MK, masa jabatan, dan segala tetek bengeknya yang agaknya minim urgensi.
Adapun hal-hal yang menuai sorotan dari revisi ini meliputi; pertama, usia minimal seorang hakim MK dari yang 47 tahun di Undang-undang sebelumnya, menjadi 55 tahun, turun 5 tahun dari yang diusulkan sebelumnya yakni 60 tahun. Kemudian perihal masa jabatan, seorang hakim MK boleh menjabat sampai umur 70 tahun sepanjang ia belum menjabat selama 15 tahun.
Hal-hal ini jauh dari apa yang pernah dibahas oleh Kemenkumham dan MK pada 2017 lalu, di mana fokus dari revisi yang direncanakan pada waktu itu menyangkut persoalan teknis seperti hukum acara MK. Dari situ kita bisa melihat betapa minimnya urgensi dari revisi ini.
Alih-alih menguatkan, Revisi ini malah dituding bertujuan 'menjinakkan' hakim MK. Hal ini berpotensi melahirkan 'utang budi' di pundak para hakim MK yang kemudian akan mengurangi hambatan-hambatan DPR dan Pemerintah dalam menggolkan RUU maupun memanjangkan umur kekuatan hukum poin-poin UU produksi mereka.
Muncullah pertanyaan, bagaimana nasib lembaga yang dijuluki sebagai 'Mahakarya' hukum Indonesia ini? Setelah KPK, apakah kita kini harus gigit jari dengan hilangnya independensi lembaga independen dan kepercayaan kita (lagi)?
Revisi ini wajar digadang-gadang sebagai senja kala atau ujung dari independensi MK menuju malam gelap yang panjang berupa konflik kepentingan di dalamnya. Kita patut khawatir, karena sepanjang sejarah, MK sudah menjawab banyak harapan tentang tegaknya konstitusi dan tempat mengadu dari liciknya beberapa UU.
Senja kala independensi
Kita telah melihat betapa proses pembahasan RUU ini melahirkan banyak pertanyaan. Tentu setelah membaca substansi dan menimbang urgensi, adalah sebuah keniscayaan lahirnya asumsi dan spekulasi di ruang publik.
Di atas sudah disinggung perihal berbahayanya RUU ini jika sampai benar menjadi barter kepentingan antara hakim MK dengan DPR. Spekulasi dan kekhawatiran tentu semakin menguat jika melihat adanya beberapa UU kontroversial nan problematik yang sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Sebut saja UU KPK, UU Stabilitas Keuangan Negara (Perppu No. 1 Tahun 2020/ 'Perppu Corona') dan RUU Cipta Kerja yang hampir pasti akan diuji ke MK jika nantinya berhasil 'gol'. DPR dan Pemerintah tentu punya kepentingan untuk mempertahankan regulasi-regulasi tersebut.
Lantas, salahkah publik menduga bahwa independensi MK dan lembaga independen lain telah di ambang senja kala? Tentu tidak jika melihat beragam fakta yang dipertontonkan.