Mohon tunggu...
Dion Pardede
Dion Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan terus dan selalu belajar.

Absurdites de l'existence. Roséanne Park 💍

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Novel Baswedan dan Sarjana Hukum yang Tak Kunjung Jadi Presiden

2 Juli 2020   22:20 Diperbarui: 2 Juli 2020   22:39 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Baswedan, salah satu penyidik terbaik KPK disiram air keras 2017 lalu. Satu negara heboh selama hampir 3 tahun. Dua orang ditangkap dan kata TGPF, itulah pelakunya (TGPF itu isinya polisi, percaya dong).

Beberapa minggu ke belakang kasus ini memulai sidang pertama dengan agenda pembacaan surat dakwaan, JPU menuntut 1 tahun.

JPU menggunakan dakwaan subsider di mana Pasal 355 ayat (1) dengan ancaman maksimal 12 tahun sebagai dakwaan primer dan Pasal 353 ayat (2) sebagai dakwaan subsider dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun kurungan.

Anehnya, JPU hanya meminta majelis untuk menjatuhkan pidana 1 tahun kurungan saja dengan dalih siraman air keras yang dilakukan kedua terdakwa tidak dimaksudkan atau tidak sengaja mengenai mata Novel.

Dari pertimbangan tersebut, JPU mengkategorikan perbuatan terdakwa sebagai penganiayaan (Pasal 353), bukan penganiayaan berat ( Pasal 355). JPU seolah mengabaikan cacat permanen pada mata kiri Novel.

Tampaknya JPU meragukan konstruksi tuntutan yang disusunnya sendiri, sehingga menggunakan dakwaan subsidernya sebagai dasar tuntutan.

Stigma terhadap sarjana hukum

Hal-hal seperti di atas jika ditelusuri lebih jauh bukan hanya persoalan hukum dan ilmu hukum. Namun kebanyakan orang pastinya tidak memandang sejauh itu. Ketika kejanggalan-kejanggalan demikian dipertontonkan di persidangan, maka bagi kebanyakan orang ini adalah ulah orang hukum.

Kasus Novel tentu bukan satu-satunya kejanggalan yang merusak citra orang hukum. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pun rasanya cukup banyak orang yang kebetulan berkesempatan mengenyam bangku kuliah hukum bertindak dzalim dengan memperalat pengetahuan hukumnya yang sedikit untuk memperdaya mereka yang sama sekali tidak berpengetahuan hukum.

Cukup banyak pengacara-pengacara yang sengaja atau tidak mengatribusi diri sebagai penghalal segala cara sebesar-besarnya untuk kepentingan klien.

Yang paling bikin sedih (minimal bagi saya), mahasiswa Fakultas Hukum jadi kebagian getah dari hal-hal yang dipertontonkan beliau-beliau :')

Saya pribadi bahkan pernah dapat kata-kata manis yakni "ohh ngambil hukum? bagus itu, nanti bela koruptor bisa dapat duit banyak"

Saya yang sedang dalam fase idealis-idealis nya merasa jengkel dengan ucapan itu. Akhirnya saya bantah anggapan itu dengan argumen yang terstruktur, sistematis, dan masif... dalam hati, hehe.

Negara hukum yang tak pernah dipimpin orang hukum

"Negara Indonesia adalah negara hukum" demikian bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen ketiga disahkan 10 November 2001. Lalu mengapa sampai sekarang belum ada orang hukum yang berhasil menjadi orang nomor 1 di Indonesia?

Padahal, pengetahuan hukum seorang kepala negara bukan tidak penting dalam penyelenggaraan kekuasaan eksekutif serta koordinasi dengan legislatif dan yudikatif. Presiden harus tahu dan mengerti konsekuensi hukum dari segala tindakannya dan membentuk instrumen hukum sesuai visinya ke depan.

Hal-hal tersebut pastinya dimiliki seorang sarjana hukum (yang rajin kuliah tentunya). Bagaimana tidak? Mahasiswa hukum sudah belajar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan di semester 2, Hukum tata negara semester 3 dan banyak mata kuliah lain yang sangat esensial dalam penyelenggaraan negara.

Namun sejak amandemen ketiga tersebut, presiden kita belum pernah bergelar sarjana hukum atau menempuh pendidikan hukum. Jangankan semenjak amandemen ketiga, sepanjang sejarah republik bahkan.

Mentok-mentok sarjana hukum Indonesia pernah jadi wakil presiden di zaman orde baru. Adalah Bapak Letjen. Sudharmono S.H yang menjabat dalam kurun 1988-1993, yaa itu juga nggak lewat proses demokrasi, hehe.

Yang perlu disoroti di sini adalah, kenapa rakyat nggak pernah ngasih kepercayaan ke sarjana hukum? Yaa karena bagi mereka banyak masalah dan kebobrokan negara ini yang diinisiasi oleh orang hukum (contohnya kasus Novel di atas).

Hal lain yang mungkin menyebabkan timbulnya keengganan untuk memilih presiden seorang sarjana hukum adalah anggapan bahwa permasalahan Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya dengan pengetahuan hukum.

Anggapan ini didasari fakta di lapangan bahwa Indonesia perlu digenjot perubahan dalam sektor-sektor yang lebih spesifik. Oleh karenanya membutuhkan kompetensi yang relevan dengan tujuan itu, kalo soal instrumen hukum toh bisa pake penasehat dari luar, kira-kira begitu.

Lah emang orang hukum gabisa pake penasehat bidang ekonomi, lingkungan, dan segala macamnya? Presiden kita aja lulusan kehutanan bisa menjalankan pemerintahan dengan baik. Eh, baik ga sih?

Sebenarnya nih ya, kita tidak kekurangan sarjana hukum yang kompeten dan berintegritas. Namun dari segi kekuatan politik, tentunya kalah dari tokoh-tokoh di bidang lain. Entah itu karena kebagian getah dari stigma tadi, atau memang sosok-sosok ini kurang mendapatkan ruang untuk unjuk kebolehan mengelola pemerintahan.

Ya tapi mau gimana lagi, emang nggak bisa dibantah banyak sarjana hukum yang menyalahgunakan pengetahuan yang dimiliki atau merusak bidang ilmunya karena minimnya pengetahuan akan bidang ilmunya sendiri.

Mungkin untuk periode selanjutnya juga belum merupakan momen yang tepat untuk sarjana hukum bisa duduk di kursi presiden.

Yaa kita tau sendirilah nama-nama yang hangat untuk 2024. Ada sarjana hukum tidak? Ada. Itupun kayaknya cuma satu yang benar-benar sudah 'punya nama', udah jahit baju putih cawapres malah, hehe (one of the biggest scam in Indonesia political history).

Tetapi tentunya akan sangat sulit untuk hal itu benar-benar terjadi. Setidaknya bukan dalam waktu dekat.

Tetapi satu hal yang bisa kita harapkan adalah muhasabah para sarjana hukum dan mahasiswa hukum (seperti saya, hehe) untuk kemudian memperbaiki citra sarjana hukum di berbagai kalangan.

Kalau memang jadi presiden susah, minimal saya nggak diasumsikan kuliah hukum buat jadi pengacara pro koruptor doang :')

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun