Mohon tunggu...
Dion Sandytama
Dion Sandytama Mohon Tunggu... Lainnya - A student

Always learn from everything

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandemi, Momentum Kembali Merangkul Kaum Difabel

29 November 2020   23:00 Diperbarui: 29 November 2020   23:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

               Sebagai salah satu kota tujuan pariwisata, pendidikan, dan mencari nafkah bagi kaum pendatang, Kota Yogyakarta menjadi wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan luas wilayah hanya 32,50 kilometer persegi dan jumlah penduduk tercatat 388.627 jiwa (Sensus Penduduk 2010), kepadatan penduduk di kota itu tercatat mencapai 13.007 jiwa/kilometer persegi (Pmperizinan.jogjakota.go.id, 2017, paragraf 2-3). Jauh di atas empat kabupaten lain di DIY yang hanya berkisar di angka 1000 hingga 2000 jiwa/kilometer persegi.

               Dari 388.627 jiwa itu, terdapat 1.819 penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta (Jogja.tribunnews.com, 2016, paragraf 3). Artinya ada kurang lebih 0,46% penduduk berkebutuhan khusus di kota tersebut. Angka tersebut masih jauh di bawah persentase penyandang disabilitas di DIY yang mencapai 8,15% atau hanya berselisih 0,41% di bawah rata-rata nasional (Pusat Data Dan Informasi Kemenkes RI, 2018, halaman 2). Walau demikian, harus diingat luas wilayah Kota Yogyakarta hanya 32,50 kilometer persegi yang membuatnya menjadi kabupaten/kota terkecil di DIY. Berselisih jauh dengan Kabupaten Sleman yang tepat berada di atasnya dengan luas wilayah 574,82 kilometer persegi. Artinya wilayah yang tidak luas itu harus mampu mengakomodasi ruang gerak kurang lebih 1.819 penyandang disabilitas tersebut.

               Adanya wabah Covid-19 membuat mereka menjadi salah satu kelompok rentan, baik rawan tertular virus, rawan tidak terpenuhi kebutuhan primernya, maupun rawan kehilangan sumber pendapatan. Hasil riset Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) Jogja menunjukkan 59,31% penyandang disabilitas mengalami penurunan penghasilan karena dampak pandemi. Bahkan 20,1% diantaranya tidak memperoleh penghasilan dan/atau berhenti bekerja. (Sapdajogja.org, 2020, paragraf 4). Riset dilakukan terhadap 204 responden difabel di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. 

               Perlu strategi khusus dari pemangku kepentingan untuk menyelamatkan mereka. Langkah itu sudah terlihat saat Pemerintah Kota Yogyakarta melibatkan difabel, terkhusus perempuan, sebagai penggerak dalam Program Ketahanan Pangan Bagi Perempuan Disabilitas dan Lansia yang terintegrasi ke pasar online, Juli 2020 lalu. Artinya di sini ada kebijakan pelibatan teknologi yang mengarah keberpihakan kepada mereka. Para penyandang disabilitas tersebut diarahkan menjadi pelopor dalam mengelola komoditas di delapan kelurahan di Kota Yogyakarta yang menjadi bagian dari program itu (Difabel.tempo.co, 2020, paragraf 1-2). Lalu hasil produksi komoditas-komoditas itu diarahkan ke e-warung, pasar online yang dikelola Pemkot Yogyakarta, untuk dipasarkan secara luas.

               Mereka juga dibekali pelatihan supaya dapat mandiri mencukupi kebutuhan dasarnya sekaligus mampu memaksimalkan potensi yang ada di sekitar tempat tinggal, dalam hal ini lingkup kelurahan masing-masing. Menurut Kepala Dinas Sosial Kota Yogyakarta, Agus Sudrajat, itulah fokus gerakan program ini (Difabel.tempo.co, 2020, paragraf 6). Penulis berpendapat merangsang keterlibatan para penyandang disabilitas dalam masyarakat dengan salah satunya menggunakan sarana teknologi merupakan langkah yang inovatif di tengah semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Zaman yang terus berkembang melalui teknologi itu berpotensi semakin menyingkirkan mereka dari masyarakat. Padahal Pasal 1 Ayat (2) UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin mereka berhak mendapatkan akses untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.

              Menurut penulis, program yang digagas Pemkot Yogyakarta itu memberi angin segar terhadap perlindungan hak-hak para penyandang disabilitas, apalagi di tengah kondisi sulit pada masa pandemi seperti sekarang. Namun ada hal-hal yang perlu dicermati dari pelaksanaan program tersebut, yakni terkait segmentasi pasar yang dituju dari hasil produksi komoditas mereka. Apakah akan membidik pasar lokal atau juga regional? Kemudian bagaimana manajamen operasionalnya yang secara tidak langsung mempengaruhi keberlanjutan gerakan ini ke depan?

               Jika melihat data di PlayStore, aplikasi e-warung ini mendapatkan kurang lebih 500 pengguna dalam kurun waktu lima bulan beroperasi. Kemudian barang-barang yang dijual meliputi kebutuhan pokok sehari-hari, seperti telur, beras, dan daging ayam. Model pembeliannya sama seperti jika melalui ojek daring, yaitu memesan via aplikasi dan barang pesanan diantar ke tujuan dengan tambahan biaya ongkos kirim. Menjadi pertanyaan penulis adalah, jika melihat barang-barang yang ditawarkan, apakah murni hasil produksi para difabel sendiri dan masyarakat di sekitarnya atau menjual barang dari pihak lain? Mengingat jika item seperti telur dan beras juga banyak dijual di tempat lain sehingga kurang memiliki keunikan tersendiri.

               Mengingat usianya yang juga belum genap setengah tahun, penulis belum bisa mengatakan berhasil atau tidaknya. Namun yang pasti, ke depannya promosi gerakan program ini harus lebih digencarkan, baik oleh pemerintah, komunitas difabel, maupun masyarakat. Penulis sebagai warga Kota Yogyakarta secara subjektif mengakui belum begitu mendengar gaung dari program ini. Diperlukan integrasi dan kerja sama antar sektor agar kehadiran gerakan ini lebih diketahui masyarakat, secara khusus di Kota Yogyakarta, sebagai usaha para penyandang disabilitas memperjuangkan hak-haknya. Apalagi ditunjang dengan sarana Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di era digital seperti sekarang, seharusnya dapat semakin memudahkan dalam hal promosi. Ayo hargai usaha saudara kita para penyandang disabilitas dengan mendukung sesuai kemampuan kita. Sedikit dukungan dari kita, sangat berarti bagi mereka.

Daftar Referensi 

Jogja.tribunnews.com. (2016). Dinsos Catat Ada 25 Ribu Lebih Penyandang

            Disabilitas di DIY. Diambil dari https://jogja.tribunnews.com/2016/03/18/dinsos-catat-ada-25-ribu-lebih-penyandang-disabilitas-di-diy  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun