Bahasan kali ini membicarakan mengenai kolonialisme elektronik yang tidak dapat dilepaskan sejarahnya dari kolonialisasi global yang terbagi menjadi empat zaman, yaitu era kolonialisasi militer, era kolonialisasi Kristen, era kolonialisasi perdagangan, dan era kolonialisasi elektronik.Â
Adapun review bacaan ini akan berfokus pada kolonialisasi elektronik yang mulai terjadi pada sekitar tahun 1950 hingga sekarang.Â
Kolonialisasi elektronik ini ditandai dengan ketergantungan negara-negara miskin kepada negara-negara maju karena "keharusan" impor perangkat keras dan perangkat lunak komunikasi yang diproduksi negara-negara maju. Hal ini karena penguasaan teknologi mutlak menjadi milik negara maju yang didukung sokongan kekuatan finansial dalam jumlah besar.
Fenomena ini secara tidak langsung menimbulkan pengaruh pada pola pikir serta perilaku konsumen global dalam melihat dan memilih produk yang ditawarkan dari berbagai belahan dunia. Argumentasi ini dapat dihubungkan dengan teori sistem dunia yang memandang bahwa media massa merupakan motor untuk mempengaruhi dua zona terbawah. Zona yang dimaksud adalah pembagian negara-negara menjadi tiga kategori, yaitu paling atas adalah core atau negara inti yang diisi negara-negara maju dan kaya. Kemudian menyusul dua di bawahnya yaitu negara semi periferi (negara berkembang) dan negara periferi (masih tertinggal/belum berkembang).
Contoh konkrit pada era sekarang adalah budaya Korea, atau biasa disebut K-Pop, yang mendunia dan digandrungi banyak orang di dunia. Bahkan sebuah konser daring BTS, sebuah boyband asal Korea Selatan, pada Oktober 2020 ditonton kurang lebih 100 juta orang di seluruh dunia. Itu belum menghitung jumlah penonton drama-drama Korea yang juga digilai masyarakat global, termasuk Indonesia. Contoh ini menunjukkan negara dengan penguasaan teknologi bagus akan mudah mendapat jalan untuk mempromosikan potensinya melalui dunia digital. Apalagi diketahui Korea Selatan adalah salah satu negara produsen perangkat komunikasi terbesar di dunia.
       K-Pop seolah menjadi sebuah budaya baru yang memainkan peran dalam globalisasi, di mana banyak mata tertuju ke Korea Selatan. Produk budaya itu dapat berpengaruh ke dimensi-dimensi lain, seperti komoditas ekonomi, norma sosial, dan nilai serta perilaku individu. Hal itu salah satunya dapat dilihat dari pendapatan artis K-Pop, Blackpink, yang mencapai 40 miliar rupiah perbulan hanya dari kanal YouTube. Kemudian cara berpakaian artis K-Pop yang kemudian banyak ditiru penggemarnya. Dari sini dapat kita lihat "penjajahan" model baru menggunakan media teknologi tanpa disadari mayoritas dari kita.
       Intisari bacaan di atas memberi catatan bahwa pada era globalisasi seperti sekarang, penguasaan teknologi menjadi kunci. Namun hal tersebut sampai saat ini masih terbatas dimiliki oleh negara-negara dari zona core. Sementara negara-negara dari zona semi periferi serta periferi masih harus puas menjadi penonton dan konsumen. Tatanan seperti itu yang melanggengkan "penjajahan" dalam kolonialisme elektronik. Tentu kita harus memandangnya dari dua sisi, yaitu positif dan negatif.
      Dimulai dari sisi positif kolonialisme elektronik yang diharapkan membawa perubahan lebih baik pada bidang perdagangan, perekonomian, dan akulturasi budaya. Dengan adanya hubungan perdagangan komoditi-komoditi dari satu atau lebih negara ke negara lain, akan meningkatkan pemasukan negara dari sektor-sektor andalan. Kemudian bisa semakin mempererat hubungan antar negara-negara di dunia melalui kegiatan ekonomi tersebut. Jika mengacu kepada contoh K-Pop di atas, kolonialisme elektronik dapat menjadi media terjadinya akulturasi budaya. Dengan sarana berbasis digital, budaya Korea secara masif memasuki ruang-ruang budaya bangsa lain sehingga berpotensi memunculkan percampuran budaya di sana.
      Sedangkan jika menilik sisi negatif kolonialisme elektronik sendiri, kita akan menjumpai kenyataan yang terkadang tidak terlihat dan tidak disadari. Semisal kesenjangan sosial ekonomi yang semakin lebar antara negara-negara di zona core dan semi periferi serta periferi. Negara-negara maju dan kaya makin leluasa melebarkan pengaruhnya ke berbagai penjuru bumi, terutama menyasar negara-negara yang masuk dua zona di bawahnya. Sementara negara berkembang dan tertinggal yang tidak atau kurang mempunyai sumber daya hanya bisa menerima kondisi untuk terus menerus dipengaruhi dan dijadikan pasar bagi negara-negara zona core.
      Dalam konteks seperti ini, menurut saya ketahanan sosial dan budaya menjadi senjata untuk tetap berpegang teguh kepada pendirian serta nilai-nilai bangsa agar tidak terkikis oleh pengaruh dari luar. Jika dapat dilakukan, maka harkat dan martabat suatu negara tetap terjaga meskipun diserbu pengaruh budaya dari luar yang masif karena semakin terbukanya akses informasi berbasis elektronik.
      Dari topik ini kita dapat memetik simpulan dasar bahwa dunia semakin terbuka oleh hadirnya kolonialisme elektronik, seperti tidak ada lagi batas-batas budaya atau negara. Ada yang diuntungkan dan ada yang "diperbudak" olehnya, ada yang mempengaruhi serta ada yang dipengaruhi. Tentu ada efek positif dan negatif yang dibuatnya, tetapi kembali lagi kepada masing-masing individu, kelompok, maupun negara untuk menempatkan posisinya dalam menghadapi digitalisasi global di masa sekarang.