Sebagai pionir pembinaan Imam Katolik di Indonesia, tentu saja Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang atau yang akrab disebut Seminari Mertoyudan sudah berpengalaman dalam menghadirkan para imam-imam Katolik yang berkarya di Indonesia maupun dunia.Â
Seminari Mertoyudan memiliki 4 nilai keutamaan yang selalu diperjuangkan selama masa formasi di sini, yaitu kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan pelayanan. Dengan nilai-nilai yang selalu diperjuangkan tersebut, sudah tentu para imam yang dicetak di Seminari Mertoyudan ini bukan imam yang biasa-biasa saja. Selain itu, tokoh-tokoh non-imam terkenal yang juga merupakan alumni Seminari Mertoyudan, antara lain Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong, para pendiri Kompas dan Gramedia yang merupakan lulusan dari Seminari Mertoyudan.
Alasan utama saya tertarik untuk masuk ke Seminari ini selain karena pendidikannya yang berbeda dari sekolah-sekolah lain, Seminari Mertoyudan juga menurut saya menjadi tempat yang cocok bagi saya untuk mengolah panggilan yang saya dapatkan selama hidup saya. Maka, saya pun pada akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke Seminari ini dan mulai berformasi di tempat ini, sejak tanggal 22 Juli 2024.
Saya adalah salah satu siswa yang berasal dari luar Keuskupan Agung Semarang. Pada awalnya, Seminari Mertoyudan ini bukan pilihan pertama saya untuk mengolah panggilan Tuhan yang saya miliki. Pada awalnya, saya berminat untuk masuk ke Seminari Menengah Cadas Hikmat milik Keuskupan Bandung, karena Keuskupan Bandung merupakan keuskupan saya. Setelah itu, setelah mencari-cari seminari menengah lainnya yang ada di Pulau Jawa, muncullah Seminari Wacana Bhakti milik Keuskupan Agung Jakarta dan Seminari St. Petrus Canisius milik Keuskupan Agung Semarang. Mulai dari situ, muncullah pergulatan yang ada dalam hati saya untuk memilih tempat berformasi.Â
Setelah memikirkannya matang-matang, pilihan saya jatuh pada Seminari St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang. Hal ini dikarenakan pendidikannya yang lebih terasa dan lebih mengena bagi saya, sehingga menurut saya Seminari ini lebih baik dalam mengolah diri saya menjadi seorang imam di masa depan. Terlebih, nilai sejarah Seminari Mertoyudan yang sudah mencetak imam-imam sejak tahun 1912 juga menambah rasa kepercayaan saya bahwa saya akan dididik menjadi imam yang berkualitas di seminari ini.
22 Juli 2024, saya menginjakkan kaki bersama seluruh barang yang saya bawa ke Seminari ini. Di seminari, para seminaris tahun pertama harus mengalami masa isolasi selama 40 hari terlebih dahulu. Selama masa isolasi, kami tidak boleh menggunakan alat elektronik, tidak boleh keluar, dan seluruh hari kami dilaksanakan di seminari. Fokus dari masa 40 hari ini adalah selain untuk berpuasa gadget, juga menjadi salah satu sarana bagi kami untuk mengenal satu sama lain secara mendalam dan memperkuat persaudaraan kami, mengingat bahwa kami berasal dari berbagai macam daerah yang dipersatukan di Seminari Mertoyudan ini.
Mungkin sebelum masuk sini, ditinggal selama 40 hari terasa mudah, terlebih karena dibandingkan dengan sekolah lain yang hingga 100 hari, 40 hari di seminari tidak ada apa-apanya. Tetapi, minggu pertama menjadi saksi bisu betapa beratnya kami menjalani hari-hari tersebut. Perasaan rindu keluarga yang mendalam menjadi faktor utama mengapa minggu awal menjadi minggu terberat. Banyak dari kami yang ingin pulang, tidak mau melanjutkan, dsb. tetapi dari situ kami bisa berbagi perasaan, pengalaman, dan kesusahan yang kami miliki, sehingga kemudian dari situ muncul keinginan dari masing-masing pribadi untuk berperan menolong satu sama lain supaya angkatan kami bisa bangkit dari keterpurukan itu dan menjadi solid.
Setelah minggu-minggu awal yang berat, minggu seterusnya menjadi sangat cepat. Kami sudah mengenal dan bercengkerama satu sama lain, sudah mulai menerima kenyataan bahwa kami disini bukan tanpa alasan, dan rasa persaudaraan dan persahabatan kami sudah menguat. Kami menjalani hari-hari setelahnya dengan penuh sukacita, hingga saat acara Hari Orang Tua pada tanggal 1 September 2024, acara yang paling kami tunggu-tunggu. Kami menyebutnya "Hari Pembebasan," karena setelah Hari Orang Tua, segala akses terhadap dunia luar sudah dibuka (gadget, ambulasi, dsb.) sehingga acara Hari Orang Tua menjadi acara yang paling menggembirakan.
Demikian sedikit kisah awal saya memilih Seminari Mertoyudan menjadi tempat pengolahan panggilan saya dan hal-hal menarik yang saya berikan pada artikel ini, semoga bermanfaat dan para pembaca juga bisa tertarik untuk datang dan mengalami sendiri apa yang saya ceritakan pada artikel ini. Terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI