Mohon tunggu...
Dionisius Riandika
Dionisius Riandika Mohon Tunggu... Guru - Seorang Educator, Hipnomotivator, Hipnoterapis, Trainer, Penulis

Lahir di Kota Ambarawa, Kabupaten Semarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang

30 November 2023   14:54 Diperbarui: 30 November 2023   15:01 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih memandangi senja tua itu. Senja yang menemaniku mengantarkan pergimu. Berlayar ke lanskap lautan. Menghardik ikan-ikan besar. Menangkapnya tanpa ampun. Lalu melokalisasi mereka ke kamar-kamar palka. Di sana, mereka mencucurkan air mata tanpa bisa berbuat apa-apa. Melarikan diri tentu saja mustahil. Hanya menunggu waktu sampai nasib mengantarkan mereka ke piring-piring keramik di restoran-restoran bintang lima.

"Tak perlu cemas. Aku hanya pergi semalam saja. Diamlah di rumah dan jaga calon bayi kita tetap hangat. Tak perlu sering ke luar rumah. Angin laut sedang tak ramah," pesanmu panjang lebar seolah menjawab semua pertanyaan dalam hatiku.

"Hati-hati. Laut sedang pasang dan ombak besar sering datang tak menentu. Berjanjilah untuk pulang," sahutku yang dibalas dengan ciuman panjang di kening.

"Ayah berangkat."

Diciumnya perutku. Bayi kami tiba-tiba menggeliat. Aku sempat terkejut. Kau tertawa. Mengelus perutku sekenanya. Lalu, kau berangkat. Kapalmu menjauh perlahan. Kusaksikan hingga nyaris tak nampak. Belum cukup malam. Masih di senja yang tua. Sepertinya, alam sengaja menunda waktu supaya aku bisa menatapmu hingga direngkuh horizon.

Semalam. Ya. Katamu ketika itu. Tapi, aku masih sangat pandai berhitung. Masih sangat cakap melihat pergantian hari. Dan, menurut keyakinanku, pergimu telah lewat tujuh hari lengkap dengan malamnya. Wajarlah kalau perasaanku dirundung cemas. Aku khawatir kau tersesat di lautan yang lain. Meskipun kau adalah pakar perbintangan paling andal yang pernah kukenal setelah ayahku.

Tapi, lautan adalah air yang bertubi-tubi. Yang bisa menelan kerentanan dan menenggelamkan kegoyahan. Aku mulai takut. Takut andai kau tak pernah pulang. Aku tak mau kehilangan lagi untuk kedua kalinya. Cukup ayahku. Ya. Cukup ayahku saja yang hilang di lautan. Jangan ada lagi. Apalagi kamu. Aku tak bisa. Aku tak siap. Aku menolak.

Umurku lima tahun. Itu kata ibu. Ayah melaut suatu hari. Dia memang seorang pelaut. Pencari ikan. Penguasa jantung lautan, kata ibu. Sebelum berangkat, ia menggendongku. Membawaku naik ke kapal. Menunjukkan langit senja yang kemerahan. "Ke sana ayah akan menuju," katanya dengan mantap. "Ayah akan menangkap banyak ikan. Banyak sekali ikan. Ikan-ikan laut sangat mahal. Kita bisa mendapat uang yang banyak. Untuk keluarga kita. Untuk masa depanmu. Kelak, jadilah saudagar. Belilah ikan-ikan para nelayan dengan harga yang mahal. Juallah kepada restoran-restoran dengan harga lebih mahal."

Masih cerita ibu. Senja itu ayah berangkat melaut. Dan, hingga aku menikah dan mengandung, ia tak kunjung pulang. Ibu terus setia menunggu di tepi laut. Hingga akhirnya ia harus menyerah. Sebab, penyakit paru-paru merenggutnya. Ia meninggal setelah dua puluh dua tahun menunggu kepulangan ayah. Sungguh istri yang setia. Mati dalam penantian panjang.

Kini, tentu saja aku tak mau kejadian itu terulang. Kau harus pulang, suamiku. Tak apa jika tak seekor ikan pun kaubawa. Aku dan anakmu masih bisa makan nasi dengan taburan bawang goreng. Rasanya senikmat ikan cakalang. Sama saja. Aku yakin, bayi kita tetap tumbuh sehat dan kuat. Percayalah. Tak apa kalau belum bisa minum susu. Aku merasa cukup sehat dengan air kelapa muda yang ranum tumbuh di halaman rumah kita.

Pulanglah suamiku. Pulanglah. Seketika air mataku meleleh. Jabang bayi ini menjelang lahir. Menurut bidan, perkiraannya minggu depan. Aku ingin kau menemaniku di saat aku mengejan. Aku mau kau ada disisiku menyaksikan anak kita lahir nanti. Aku ingin kau ada untuk mendoakan dan menamainya. Aku inginkanmu, suamiku. Pulanglah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun