Burn Your Idol adalah art project Wok The Rock, yang merupakan, menurut tebakan saya, kelakar sinis sekaligus perwujudan kedekatannya dengan musik dan budaya instan. Sinismenya mungkin bersumber dari hari-hari pra-remaja Wok: tergila-gila musik metal, tidak selalu ada uang untuk membeli sekian banyak kaset dari sekian banyak band yang diingininya (yang mungkin belum dimiliki kakaknya), sehingga akhirnya terkompromi dalam bentuk barter atau gerakan pinjam-tapi-tak-dikembalikan dengan teman. Dengan kata lain, dulu, mendengarkan musik adalah suatu proses yang bukan sekedar beli, setel, dengarkan, melainkan melibatkan pula sederetan upaya lain.
Semenjak kemunculan Napster sampai sekarang, orang tidak perlu lagi menunggu lama hanya untuk mendengarkan musik yang diincar. Sedikit googling dan browsing ke situs musik bebas unduh atau bayar-per-unduh (unduh adalah sebuah kata yang lucu, bukan?), belum lagi dengan banyaknya situs torrent dan peer-to-peer, membuat proses mendengarkan musik menjadi sesuatu yang full-tech sekaligus mudah. Hal ini dimanfaatkan betul oleh Wok The Rock. Alih-alih misuh-misuh ala veteran, “Cuk! Jaman dulu ya, bla bla bla...sekarang mah enak bla bla bla,” ia memilih untuk menceburkan diri sekalian, menganggapnya sebuah kelakar semata.
Saya pernah melihat, entah di situs apa, wawancara Wok dengan Nasta Soetardjo. Parafrase dari wawancara itu, highlightnya saja, kira-kira begini:
Tanya: “...Jadi Wok, ente udah gak pernah menggambar manual lagi kalau begitu?”
Jawab: “Enggak. Aku lebih suka nyéken (men-scan? Menyecan? Menseken? Whatever.) Tinggal otak-atik saja di komputer. Itu sudah sangat asyik.”
Dari situ, kita, setidaknya saya, bisa melihat kecenderungan Wok untuk memaksimalkan teknologi dalam implementasi kreatifitas liarnya. Memaksimalkan di sini tentu berarti memanfaatkan segala kemudahan, kecepatan dan ketepatan–tiga dari sekian aspek yang mendefinisikan kata instan–dalam karyanya. Buat seseorang yang sering bangun siang, sementara lingkup kerjanya sering dibatasi oleh deadline yang ketat, teknologi dan segala ke-instanan-nya, tidak bisa lain, adalah satu-satunya pilihan.
Jarang sekali–jika kebetulan mampir ke Mes 56 dan duduk di Hang(over)ing Garden-nya Mes, di depan %ruanglaba%–kita tidak mendengar lagu menyalak/mengalun keluar dari speaker Wok, selagi yang bersangkutan sibuk mendesain sambil mengunduh lagu (lebih sering sebaliknya, saya kira). Kadang lagu yang ia setel begitu aneh. Asing. Repetitif (terutama ketika DEMI TUHAN punya jadwal main). Kita tidak bisa tidak merasa muak dan bosan. Tapi terkadang ada kalanya, dalam frekuensi yang jauh lebih sering dibanding kasus pertama, musik yang ia pasang cocok dengan apa yang kita harapkan dari seorang dengan referensi musik yang maha luas dan database lagu yang begitu banyak.
Referensi memang senjata Wok. Saya ingat betapa ia bisa menjadi sangat intimidatif ketika diskusi sampai ke satu topik: musik. (Di antara banyak hal yang mendefinisikan dirinya: life-time skinhead, graphic artist, desainer grafis, CEO Netlabel Yes No Wave, Wok the Rock adalah seorang pengkhotbah berbakat.) Panjang lebar Wok “The Rock Snob” bercerita, menyebutkan band ini dan itu, beda antara musik ini dan itu, dari punkrock, skinhead, metal, pop, rock, apapun genre musik yang ada di luar sana, mengintimidasi setiap orang dengan pengetahuannya. Wok seakan beralih-rupa menjadi scientia omnia deus layaknya Calvin Johnson di mata North-Western rockers, dari Cobain sampai Moldy Peaches; seperti Tung Desem Waringin atau Mario Teguh bagi para bussinessman kapiran, dalam versi yang lebih hitam, bertato dan ber-hot jeans. Kalaupun ada yang ia tidak tahu–tidak pernah terjadi dalam kasus saya sebelumnya–itu akan ia khotbahkan di lain waktu dan kesempatan, tentunya dibantu mood yang mendukung dan bir yang berlimpah.
Ini membawa saya pada pertanyaan apakah Burn Your Idol, yang pada prinsipnya adalah suatu kompilasi dari 1000 album itu, hanyalah cara lain Wok untuk mem-benchmark luasnya referensi musik yang ia miliki? Saya bisa membayangkan ia terkekeh senang–ketika akhirnya album ke-1000 telah di-submit oleh entah siapa– mengetahui bahwa tidak ada satupun dari ke 1000 album itu yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Mungkin.
Tapi mungkin Burn Your Idol adalah sesuatu yang lain. Saya ingat, ketika untuk pertama kalinya mendengar kata “Burn Your Idol,” saya mengira ke-1000 CD album itu bakal dibakar betulan, semacam re-enactment dari “Säuberung”, upacara bakar buku-nya Nazi, hanya saja tidak ada kaitannya dengan anti-Semit dan yang pasti lebih musikal. Saya senang sekali dengan gagasan itu. Persetan dengan kontemporer! Saya bahkan tidak peduli jika itu bukan seni. Yang saya inginkan adalah menyanyikan “The Roof is on Fire” bersama ke 999 orang lainnya selagi api melalap CD-CD album yang secara fenomenal pernah mempengaruhi kita semua. Persis seperti penduduk Burgundy bernyanyi kala tubuh Joan d’Arc terbakar hidup-hidup; mirip dendang senang Mark David Chapman beberapa detik sebelum peluru pistolnya menembus tubuh John Lennon. Terkadang, kita butuh melihat idola kita mati dilalap api (atau ditembak, atau OD, atau bunuh diri, atau disalib atau sekedar mati tua). “Burn your idol!”adalah titah. Ini kebutuhan. Primordial. Purba. Hahaha! Persetan dengan kontemporer! “We don’t need no water let the motherfucker burn! Burn, motherfucker, burn!”
Yang luput dari dari pemikiran otak saya yang harafiah adalah bahwa karya Wok ini sebenarnya berbunyi, Burn Your Idol...on CD. F***! Berbeda 180 derajat.
Keambiguan itu, entah disengaja atau tidak, menambah bobot karya itu sendiri di mata saya. Tapi cukuplah tentang itu. Yang membuat saya lebih tertarik adalah bagaimana sebuah proses yang sesederhana (buat zaman sekarang) mem-burning CD , ditransendenkan Wok menjadi sebuah karya. Dari segi kuantitatif: melibatkan 1000 orang dan 1000 album dari 1000 artis/band, plus waktu yang dibutuhkan untuk menggenapkannya menjadi 1000 adalah sesuatu yang masif. Dari segi kualitatif, sinergi antara situasi aktual, teknologi universal dengan hasil interaksi sang artist dengan elemen-elemen kuantitatif di atas adalah konsep yang powerful jika tidak boleh dibilang brilian.
Musik dan teknologi sudah lama bersintesis dengan cara yang sebanyak ragam implementasinya. Dalam bentuk yang paling purba, hasil penggabungan keduanya adalah industri musik itu sendiri. Seiring waktu, teknologi telah mengubah cara bagaimana musik diproduksi, merevolusi sistem pendistribusiannya, merevolusi cara manusia menikmatinya, entah lewat perubahan format data atau media di mana mereka disimpan, dari gramophone ke iPod. Teknologi pula yang kemudian menghasilkan Burning Rom dan Nero™, atau program CD burning semacamnya, termasuk sistem kompresi yang memungkinkan munculnya suatu audio hibrida bernama Mp3!
Selain membawa industri musik ke bentuknya yang sekarang, semua itu tadi memungkinkan kita semua untuk mem-bootleg lagu apapun yang kita suka, selain menjadi titik awal yang mengarah pada Burn Your Idol.
Art project ini adalah sintesa antara musik dan teknologi dengan situasi yang Wok the Rock amati dan jalani beberapa tahun terakhir, terhitung mulai dari kemunculan Winamp di PC-nya. Tapi tidak hanya itu. Wok the Rock telah menambahkan pula suatu fait accompli, suatu tendangan akhir ke tubuh yang terkapar, sesuatu yang cool, yang mungkin tidak sepenuhnya ia sadari keberadaannya: elemen waktu.
Dalam ke seratus atau lebih karakter yang wajib dilengkapi para submitters, tersimpan pula sekeping informasi mengenai diri mereka masing-masing: masa kanak-kanak, masa remaja, substansi adiktif yang pertama dikonsumsi, masa pacaran, menginjak tua, kelahiran, kematian, kehilangan, dan lain sebagainya. Ke-seribu keping informasi (dan CD) itu kemudian terjalin dalam suatu keutuhan yang adalah Burn Your Idol; suatu timetable tak runtut dari yang disebut sejarah musik, suatu diskografi random perjalanan seorang artis/band dan jukstaposisi mereka terhadap perjalanan tiap individu yang terlibat dalam Burn Your Idol, termasuk Wok The Rock sendiri.