Foto*
Nampaknya tugas guru dan pendidik pasca tweet war kasus dugaan rasisme pada mantan Komisioner HAM, bapak Natalius Pigai akan semakin berat. Kasus perang cuitan ini menjadi tambahan beban yang akan menjadi overload karena di TV dan media sosial tak henti-hentinya menayangkan ulasan dan perdebatan yang sama sekali tidak mendidik untuk generasi muda kita. Bahkan tagar tentang kasus ini selalu trending di sosial media. Sebagai pendidik tentunya saya khawatir, cita-cita pendidikan kita yang di antaranya menciptakan generasi yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, serta bertanggung jawab akan susah terwujud (UU SISDIKNAS).
Bagaimana selama ini kita disuguhi drama para tokoh yang suka ngeles, mbulet-mbulet, dan memutar-mutar argumentasi untuk membela diri. Bagaimana kita dipertontonkan para pegiat media sosial yang tidak bertanggungjawab serta selalu memperkeruh suasana dan terkesan mengadu domba. Bagaimana pula pelaku tindakan diskriminasi atas nama ras, suku, agama, dan latar belakang ekonomi; selalu mempunyai dalih untuk menghindar dari jeratan hukum.
Jika penegak hukum tidak segera mengambil tindakan tegas pada mereka yang mencederai persatuan dan kesatuan bangsa melaui cuitan-cuitan yang sama sekali tak berfaedah; maka visi luhur profil pelajar PANCASILA-pun akan susah diwujudkan. Seperti kita ketahui, Kemdikbud baru saja meluncurkan enam profil pelajar Pancasila: 1) Beriman,bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia; 2) berkebinekaan tunggal; 3) bergotong royong; 4) kreatif; 5) bernalar kritis, dan 6) mandiri.
Bagaimana mungkin nantinya dunia pendidikan akan menciptakan profil pelajar yang berakhlak mulia jika selalu dipertontonkan kegaduhan antar sesama anak bangsa, dan kita semua terkesan membiarkan saja? Bagaimana mungkin pendidikan mampu menciptakan profil pelajar yang berkebinekaan tunggal jika pelaku rasisme dibiarkan terus untuk mendominasi media sosial? Bagaimana mungkin dunia pendidikan menciptakan profil pelajar yang berkebinekaan global, sedangkan kebinekaan negeri kita sendiri terancam terkikis? Bagaimana mungkin menciptakan profil pelajar yang bergotong royong, jika aroma kebencian dan permusuhan selalu dihembuskan oleh para buzzer yang tak bertanggung jawab? Bagaimana mungkin menciptakan profil pelajar yang kreatif, jika fikiran kita selalu disibukkan mencari perbedaan ketimbang mencari persamaan visi untuk membangun negeri? Bagaimana mungkin menciptakan profil pelajar yang bernalar kritis ketika ada pelapor rasisme dan diskriminasi malah dibungkam, bahkan malah terancam dikurung? Bagaimana mungkin menciptakan profil pelajar yang mandiri, sementara para pemimpin daerah dan pusat selalu beragantung pada jasa influencer dan buzzer?
Para pendidik kini bergantung pada penegakan hukum yang jujur dan tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih. Para pendidik kini bergantung pada niat baik influencer dan buzzer untuk memerankan peranya mempromosikan berita baik dan ajakan untuk membangun negeri berama-sama. Para pendidik kini bergantung pada mereka yang hobi membuat gaduh, untuk sekarang juga berhenti membuat susasana semakin keruh. Proses kontestasi politik masih lama, sekarang waktunya membangun negeri, bukan lagi kampanye mencari simpati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H