Mohon tunggu...
Dion Ginanto
Dion Ginanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Dion Ginanto received his undergraduate degree in TESOL (Teaching English as a Second Language) from Jambi University. He was awarded “MAWAPRESNAS” (the best student award by the Ministry of Education and Culture) in 2006. He was also an AIYEP-er 2007/2008 (Australia Indonesia Youth Exchange Program). In 2009, he joined to the short course training of the KAPLAN TKT program in New Zealand. Currently, he is doing his master at Michigan State University (MA, K-12 Educational Administration). He has published his first book entitled: “Jadi Pendidik Kreatif dan Inspiratif: Cara Mengobati 10 Penyakit Profesional. He works at SMA N 1 Batanghari, Jambi, as a teacher. He also teaches at Islamic State University Jambi, and IAIN Batanghari Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

100 Hari Nadiem Makarim, Merdeka UN tapi Belum Merdeka Belajar

8 Maret 2020   09:46 Diperbarui: 8 Maret 2020   09:44 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat jam istirahat, saya berbincang dengan salah satu siswi di sekolah tempat saya mengajar. Siswi tersebut saat ini tengah duduk di bangku kelas XI. Sambil diiringi dengan canda dan obrolan ringan, saya bertanya kepada Ratna (bukan nama asli) tentang rencana penghapusan Ujian Nasional.

Dalam benak saya, pasti Ratna akan setuju seperti halnya teman-temannya yang saat ini duduk di kelas XII. Mayoritas kelas XII iri dengan adik-adiknya yang kelak tidak akan mengikuti Ujian Nasional.

"Saya setuju Ujian Nasional tetap diadakan Sir," ujarnya. Sebagai guru bahasa Inggris, Sir dan Mr adalah sapaan yang siswa tautkan kepada saya. Dengan heran dan penuh tanda tanya, saya kembali menanyakan kenapa

Ratna malah setuju dengan ide Ujian Nasional. Ratnapun menjawab, kalau boleh memilih, ia lebih memilih beban belajar siswa dikurangi ketimbang Ujian Nasional dihapuskan.

 Sensasional "Merdeka UN"

Ratna bahkan membandingkan negara-negara yang siswanya hanya dibebankan enam sampai tujuh mata pelajaran satu minggu. Sedangkan dia dan kawan-kawan harus berjibaku dengan mempelajarai 14 mata pelajaran setiap pekan.

"Kami bahkan kehilangan waktu untuk sekedar bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman, apalagi jika dalam sehari ada empat guru yang memberi PR. Maka tamatlah pula waktu kami untuk bercengkrama dengan keluarga."

Saya terdiam, sebenarnya dari dulu saya merasa prihatin dengan banyaknya mata pelajaran yang harus siswa terima. Namun, baru kali ini saya mendegar langsung curhatan dari seorang siswa, yang tidak sengaja terungkap dari topik Ujian Nasional.

Alih-alih merayakan euphoria bahwa ia akan terbebas dari Ujian Nasional yang sensasional, Ratna lebih memilih bertahan karna ingin terbebas dari beban yang lebih berat yakni beban mata pelajaran yang terkesan tak rasional.

14 mata pelajaran

Setelah mengakhiri perbincingan ringan namun serius, saya mengintip jadwal siswa di meja piket guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun