Mohon tunggu...
Dion Ginanto
Dion Ginanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Dion Ginanto received his undergraduate degree in TESOL (Teaching English as a Second Language) from Jambi University. He was awarded “MAWAPRESNAS” (the best student award by the Ministry of Education and Culture) in 2006. He was also an AIYEP-er 2007/2008 (Australia Indonesia Youth Exchange Program). In 2009, he joined to the short course training of the KAPLAN TKT program in New Zealand. Currently, he is doing his master at Michigan State University (MA, K-12 Educational Administration). He has published his first book entitled: “Jadi Pendidik Kreatif dan Inspiratif: Cara Mengobati 10 Penyakit Profesional. He works at SMA N 1 Batanghari, Jambi, as a teacher. He also teaches at Islamic State University Jambi, and IAIN Batanghari Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Debat Calon Presiden (Mencontek), Siswa Bolehkah Mencontek?

2 Februari 2019   18:38 Diperbarui: 2 Februari 2019   18:59 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pagi ini saya mengadakan kuis untuk siswa-siswi saya yang duduk di kelas XI IPA. Pada awal kuis saya memberi wasiat agar siswa menutup segala jenis kamus, buku cetak, berikut buku catatan. Hal ini untuk menghidarkan upaya-upaya yang melanggar kode etik persiswaan di kelas.

Saya membayangkan, kalau ada siswa yang protes "Sir... kenapa kami dilarang untuk mencontek, sedangkan sekaliber calon presiden diperbolehkan mebaca kope'an dan dipertononkan ke ratusan juta rakyatnya."Jika hal ini terjadi pasti saya akan terdiap bermilayar bahasa, karna mulut ini pasti tak akan mampu untuk mejawabnya.

Namun, alhamdulillah ke-tiga puluh siswa saya tak ada satupun yang berprotes atau beretorika. Mungkin mereka sudah tahu, pertanyaan itu terlalu berat, hanya Dilan yang mampu menjawabnya.  Setidakanya hari ini saya sedikit lega. Betapa tidak, reputasi dan idealisme seorang guru hampir saja tergadai jika saja saya tak mampu memberi jawaban logis pada siswa saya.  

Bukan hanya pada drama contekan yang mebuat saya ketar-ketir, namun ada beberapa hal lain yang bakalan memberikan beban baru bagi tenaga pendidik di seluruh Indonesia diantaranya: mencontek akan susah dibasmi, budaya memberi pujian akan semakin sukar diterapkan, siswa akan ikutan menjawab soal tak sesuai dengan apa yang ditanyakan.

Baiklah, mari kita kupas satu persatu. Sosial media semacam Facebook, Instagram, dan Twitter dibanjiri dengan komentar-komentar yang saling serang dari kedua kubu. Debat presiden memang sudah usai, namun debat kusir antar kedua pendukung tak akan berhenti sampai debat sesi kedua.

Salah satu di antara yang paling sering dibicarakan adalah ketika Ira Kusno, sang moderator, berulang kali menyampaikan bahwa soal masih disegel, namun rupanya dijawab dengan menggunakan catatan yang sudah dipersiapkan.

Yang lebih menggelikan lagi, banyak sekali waktu yang dibiarkan mubazir, karena rupanya catatan contekan hanya pendek-pendek saja, sementara waktu yang diberikan adalah dua menit. Tentu ini menjadi contoh buruk untuk rakyat Indonesia terutama pelajar dan mahasiswa. Berkaca pada debat, kaum terpelajar akan sangat boleh menggunakan argumen bahwa mencontek itu wajar, karena calon presiden dan calon presiden pun dimaklumkan. Namun, apakah itu etis?

Yang akan ketiban penderitaan pastilah guru. Untuk memberikan tolak ukur pencapaian pembelajaran, sang pendidik tentu harus mempunyai data yang akurat. Oleh karenanya, siswa akan diuji kemampuanya. Lalu apa gunanya ujian, jika toh ternyata mencontek diperbolehkan. Apa bedanya ujian dengan latihan harian? Kalau praktek percontekan dan perkope'an dibiarkan.

Oleh karena itu, jangan salahkan guru apa bila nantinya akan ada pembiaran terhadap perilaku curang dalam kelas. Jangan hukum guru, jika nantinya tak ada lagi hukuman pada siswa yang membawa contekan.

Jangan ada lagi istilah pendidkan karakter, karena karakter yang bagaimana lagi yang akan dibangun. Jika sosok panutan utama dan tentunya diaminkan oleh Komisi Pemilihan Umum mempertontokan akrobat mencengangkan.

Catatan kedua yang saya petik dari debat putaran pertama adalah hilangnya budaya untuk memberikan pujian antar satu sama lain. Pembawa acara debat, baik mbak Ira maupun mas Imam secara gamblang membacakan soal yang intinya memberikan pernyataan penutup yang dikemas dengan pujian pada lawan debat. Namun baik capres nomor urut satu ataupun dua tidak memberikan pujian itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun