Hidup pada dasarnya adalah siklus kehilangan. Secara perlahan tapi pasti, kita akan mengalami pelbagai kehilangan, mulai dari kehilangan kesehatan, pekerjaan, hingga orang-orang yang kita cintai.
Saat anak mulai besar, satu per satu mereka akan “hilang” dari hadapan kita karena merantau untuk kuliah. Saat anak dewasa mereka akan membangun rumah tangga sendiri-sendiri. Ini semua wajar saja. Kita harus rela melepaskannya suka atau tidak. Waktulah yang akan terus berbicara.
Salah satu yang perlu kita persiapkan adalah kehilangan jabatan atau pekerjaan.
Saat pensiun akan ada perasaan “Saya bukan lagi siapa-siapa.” Tidak mudah memasuki situasi itu apalagi sebelumnya kita punya jabatan baik dan sangat sibuk.
Untuk mengantisipasinya, sesudah pensiun usahakan agar kita masih bisa bekerja dan menghasilkan sesuatu bagi keluarga, anak atau cucu. Dengan demikian kita masih akan merasa eksist. Paling tidak kita tetap merasa berguna.
Untuk itu kita perlu menyiapkan “karir cadangan”, seperti mengajar dan menulis. Bisa juga yang mulai menyiapkan bisnis dengan wiraswasta. Tak perlu bisnis besar, yang penting bisa menghasilkan. Sebagian aktif di organisasi atau yayasan sosial.
Buatlah diri tetap berarti meski sudah pensiun. Misal dengan aktif di lembaga sosial keagamaan. Mengembangkan kemampuan berkebun atau memelihara ikan. Tetap ada semangat hidup dan merasa berarti.
Cepat atau lambat sesudah pensiun berangsur-angsur kita akan kehilangan kesehatan. Bisa jadi bergantung-obat. Biaya periksa ke dokter atau rumah sakit tidaklah murah. Untuk itu kita perlu menyiapkan tabungan atau asuransi.
Kondisi fisik yang pelan tapi pasti akan merosot perlu diantisipasi. Salah satunya dengan cara memompa semangat dan mengasah asa. Dengan tetap berhasil dalam hal tertentu, semangat tetap membara. Dengan punya semangat bisa mengangkat kondisi fisik dan kekuatan badan.
Sampai akhirnya suatu ketika kita tidak bisa bekerja lagi, tidak bisa keluar kota atau hanya berjalan kaki sebentar saja. Sampai kita tidak bisa berpikir lagi.
Inilah yang harus kita antisipasi dengan tenang. Mendekatkan diri dengan Tuhan dan bersandar pada anugerah-Nya. Sampai suatu saat semangat saja sudah tidak bisa menolong lagi.