“Kuambil bulu sebatang. Kupotong sama panjang. Kuraut dan kutimbang dengan benang. Kujadikan layang-layang.”
Lagu layang-layang, salah satu lagu yang sering kita nyanyikan saat kita kecil dulu. Karena saat kecil bahkan sampai sekarang, layang-layang masih menjadi mainan yang selalu dimainkan oleh anak-anak bahkan tak jarang juga orang-orang dewasa saat ini.
Beberapa waktu lalu, saya pergi ke tempat yang bisa menjadi nostalgia kita semua. Tempat itu bernama Museum Layang-layang. Museum yang berlokasi tidak jauh dari Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tepatnya berada di Jl. Hj Kamang No. 38 Pondok Labu, Jakarta Selatan ini bisa menjadi tempat kita untuk mengingat masa kecil kita dulu dan bisa menjadi tempat kita belajar tentang sejarah layang-layang, serta jenis layang-layang yang ada di Indonesia maupun dunia. Untuk mencapai lokasi, saya sendiri dibuat bingung karena Jl. Hj Kamang itu bukanlah jalan utama, melainkan hanya “gang” kecil sehingga membuat saya mencari-cari dan sempat memutar arah karena jalannya terlewat cukup jauh.
Saat memarkir mobil, saya tidak merasa berada di sebuah museum. Bahkan saya merasa berada di sebuah rumah bersuasana Bali dengan pohon rindang. Dan suasana di sana membuat kita merasa kita sedang berada di sebuah villa di Bali. Setelah melewati gerbang saya juga dibuat bingung karena museum ini seperti sebuah villa sungguhan. Tak ada bentuk seperti sebuah museum. Karena di depan loket hanya ada sebuah taman dengan plang bertuliskan penunjuk arah dari tiap gedung. Gedung utamanya juga seperti rumah tradisional dengan teras yang cukup luas. Di teras tersebut terdapat beberapa orang sedang membuat layang-layang dengan dibantu oleh seorang guide.
Tiket masuk di sana hanya seharga Rp. 15.000,- saya dapat menonton sejarah layang-layang di teater yang disediakan, lalu pergi berkeliling di museum layang-layang, lalu saya diajak untuk membuat layang-layang di sana.
Menurut penuturan Rudy, salah satu guide disana, ada lebih dari 100 layang-layang yang berasal dari Indonesia maupun dunia. Mulai dari ukuran kecil hingga ukuran besar, mulai dari layang-layang berbahan kertas sampai dengan berbahan daun, mulai dari layang-layang hias sampai layang-layang yang digunakan untuk memancing bahkan untuk adat pernikahan, semuanya ada di museum yang asri ini.
Benar saja, di dalam museumnya terdapat banyak sekali layang-layang. Saya dibuat takjub dengan apa yang ada disana. Rudy sebagai guide-pun selalu menjelaskan tentang sejarah layang-layang yang ada disana. Contohnya saja, terdapat layang-layang yang berasal dari Sulawesi Tenggara yang juga menjadi layang-layang pertama di dunia. Layang-layang tersebut terbuat dari daun yang dianyam dan disatukan hingga berbentuk layang-layang. Bukti bahwa layang-layang khas Sulawesi Tenggara ini adalah layang-layang pertama di dunia adalah dengan ditemukannya lukisan bergambar layang-layang yang berumur dua ribu tahun di sana. Disana juga terdapat sebuah layang-layang dijadikan sebagai ritual pernikahan di Makasar, layang-layang tersebut dibuat menjadi dua jenis kelamin. Ada layang-layang berbentuk laki-laki disebut Layang-layang Laki, dan yang wanita disebut Layang-layang Bini. Layang-layang Laki juga dibuat dengan ukuran lebih besar serta ditaruh semacam bambu sebagai pemberat di bahu dan punggung layang-layang tersebut. Filosofinya adalah bahwa laki-laki harus menanggung beban lebih berat dibandingkan wanita. Selain layang-layang yang dibuat untuk pernikahan dan layang-layang pertama di dunia, di museum ini terdapat layang-layang yang dibuat untuk memancing. Iya betul, memancing. Layang-layang tidak hanya digunakan untuk hiasan, mainan, ataupun ritual pernikahan. Layang-layang juga digunakan untuk memancing ikan. Layang-layang khas Lampung ini masih digunakan sebagai alat pancing oleh masyarakat Lampung. Ikan yang dipancing adalah ikan yang jenis mulutnya panjang. Rudy berkata bahwa memancing dengan layang-layang sudah dilakukan sejak jaman dahulu.
Rudy juga menjelaskan bahwa Museum Layang-layang yang berada di Indonesia merupakan museum ketiga di dunia setelah China dan Malaysia. Dan juga museum ini merupakan Museum Layang-layang dengan koleksi layang-layang terbanyak di dunia, karena di Indonesia sendiri koleksi layang-layang sudah sangat banyak dan ditambah layang-layang dari belahan dunia lain seperti Jepang, China, bahkan Eropa.
Setelah asyik berkeliling di dalam museumnya, sekarang saatnya membuat layang-layang! Saya dan beberapa pengunjung lain dibawa ke teras gedung utama museum lalu di beri sebuah rangkaian bambu yang sudah menjadi rangka dari layang-layang. Setelah menerima rangkaian bambu tersebut, kami diberikan sehelai besar kertas roti untuk dibuat menjadi layang-layang. Saya dan beberapa pengunjung lain mulai asyik membuat layang-layangnya. Kami menempelkan kertas roti tipis ke rangkaian bambu dengan lem kertas. Kami juga sangat hati-hati dalam menempelkannya. Setelah kertas bambu tertempel, kami lukis layang-layang kami yang sudah jadi tersebut dengan crayon. Kebetulan saya pergi ke museum tersebut bersama dua orang keponakan saya, jadi setelah layang-layang tersebut jadi, merekalah yang bermain layang-layangnya.
Setelah selesai bermain-mainnya, saya lanjutkan dengan shalat Dzuhur terlebih dahulu lalu kembali ke rumah untuk beristirahat.
Penasaran kan seperti apa rasanya langsung bermain, bernostalgia, sekaligus belajar di Museum Layang-layang? Datangi saja langsung Jl. Hj Kamang No. 38, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Museum ini juga menjadi museum yang sangat recommended oleh saya karena mulai dari suasananya, harga tiketnya, isi museumnya sangat terjamin keseruannya.