Antropologi sebagai ilmu sosial memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat manusia. Dalam konteks ini, peran kolonialisme dalam pembentukan disiplin antropologi tidak dapat dipandang sebelah mata. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika kolonialisme berkembang pesat di seluruh dunia, antropologi muncul sebagai ilmu yang, secara tidak langsung, dipengaruhi oleh kekuatan kolonial. Artikel ini akan membahas bagaimana kolonialisme memengaruhi perkembangan antropologi modern, baik dalam hal teori maupun metode penelitian.
Antropologi Sebagai Alat Kolonial
Pada masa kolonial, negara-negara Eropa menjajah banyak wilayah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam konteks ini, antropologi seringkali berfungsi sebagai alat untuk memahami dan mengontrol masyarakat yang dijajah. Banyak antropolog, baik yang bekerja di lapangan maupun yang menulis teori, datang dari negara penjajah dan memiliki pandangan yang sangat terpengaruh oleh nilai-nilai dan tujuan kolonial.
Salah satu contoh jelas adalah cara pandang etnosentrisme yang berkembang dalam antropologi pada masa itu. Etnosentrisme adalah pandangan yang menilai kebudayaan lain berdasarkan standar kebudayaan sendiri, yang seringkali menganggap kebudayaan yang lebih maju atau lebih "beradab" sebagai superior. Kolonialisme memperkuat ideologi ini dengan menempatkan masyarakat pribumi sebagai "terbelakang" atau "primitive," sementara masyarakat Eropa dipandang sebagai puncak dari evolusi budaya. Dalam banyak kasus, peneliti antropologi pada masa kolonial sering kali meremehkan atau bahkan mengabaikan sistem nilai dan struktur sosial yang ada di masyarakat yang dijajah.
Antropologi dan Politik Kolonial
Seiring berjalannya waktu, antropologi menjadi semakin terikat dengan politik kolonial. Para antropolog sering kali bekerja dengan pemerintah kolonial, memberikan informasi yang berguna untuk memetakan dan mengatur masyarakat pribumi. Misalnya, di India, para antropolog bekerja dengan pejabat kolonial untuk mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai kelompok etnis dan sosial, dengan tujuan untuk mempermudah pengawasan dan pemisahan masyarakat berdasarkan kategori yang dibuat oleh kolonial.
Metode pengumpulan data antropologi, yang kini kita kenal sebagai etnografi, pada masa itu juga sering digunakan untuk mengobservasi masyarakat pribumi dengan cara yang terdistorsi. Antropolog berfokus pada "kelainan" atau "keanehan" budaya lokal, sering kali tanpa menghargai konteks sosial atau historisnya. Mereka mengklasifikasikan budaya-budaya ini dalam cara yang lebih sering menguntungkan kekuasaan kolonial dan tidak memperlihatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang masyarakat tersebut.
Perubahan setelah Perang Dunia II: Kritikan terhadap Antropologi Kolonial
Setelah Perang Dunia II, terjadi perubahan signifikan dalam disiplin antropologi. Kolonialisme mulai mengalami kemunduran, dan banyak negara-negara jajahan memperoleh kemerdekaan. Perubahan politik global ini mendorong refleksi kritis terhadap peran antropologi dalam kolonialisme. Beberapa antropolog mulai mempertanyakan apakah mereka telah terlibat dalam eksploitasi masyarakat yang mereka pelajari. Di sinilah muncul kritik terhadap antropologi yang dilakukan dengan perspektif kolonial.
Salah satu bentuk kritik yang paling terkenal datang dari antropolog seperti Franz Fanon dan Edward Said. Fanon, dalam karya-karyanya seperti Black Skin, White Masks dan The Wretched of the Earth, mengkritik cara-cara pengamatan yang dilakukan oleh para kolonialis dan bagaimana antropologi sering digunakan untuk mendukung ideologi kolonial. Begitu pula dengan Edward Said melalui buku monumental Orientalism yang mengungkap bagaimana Barat, melalui karya-karya antropologi dan studi Timur, mendistorsi dan menciptakan gambaran yang salah tentang dunia Timur, yang seringkali dijadikan objek penguasaan kolonial.
Antropologi Pasca-Kolonial: Membangun Kembali Ilmu Sosial